Belajar Agama di Sekolah

Di sekolah, murid-murid duduk dan memberi perhatian saat pelajaran agama.  Indonesia memiliki kebijakan agama menjadi “pelajaran” dengan nilai, menentukan kenaikan kelas dan kelulusan. Murid sempat bingung untuk memastikan serius belajar agama, matematika, bahasa Inggris, atau seni. Guru selalu berucap bahwa semua pelajaran penting. Murid ke sekolah untuk pintar tapi harus berakhlak. Nah, pelajaran agama dimaksudkan membentuk murid berakhlak. Pintar bersendi iman dan takwa. Di Indonesia, pelajaran agama itu penting meski orangtua sulit mencari lembaga bimbingan belajar mengadakan les agama. Pihak sekolah pun jarang mengadakan jam tambahan jam pelajaran agama, menjelang hari-hari ujian. Situasi berbeda terjadi di madrasah. Pelajaran agama bersaing dengan pelajaran umum. Kita agak “salah” membuat perbedaan “agama” dan “umum”.

Pada 1970, terbit buku berjudul Peladjaran Agama Islam susunan Utadz Dja’far Amir. Penulis memiliki sebutan ustadz, dicantumkan di buku untuk memberi kepastian murid membaca buku dari orang mengerti agama. buku terbitan AB Sitti Samsijah, Solo, tipis dan berkertas buram. Tebal 32 halaman. Murid takjub melihat gambar di sampul: Pak guru berpeci, dua murid perempuan berkerudung, dan murid lelaki tanpa peci. Mereka melihat ke papan tulis. Suasana belajar di gambar tampak modern. Pembaca mungkin kagum pada pak guru: berpenampilan rapi dengan baju berdasi dan dua pulpen di kantong. Pak guru sadar kemajuan, ingkar dari kolot.

Belajar agama, belajar akhlak. Di halaman 14-17, Ja’far Amir memberi cerita dan penjelasan tentang akhlak. Murid diharapkan mempelajari sungguh-sungguh, bukan celelekan. Pelajaran penting: “Berbitjara jang sopan itu menundjukkan bahwa orang jang berbitjara tadi betul-betul mepunjai sopan santun dan mempunjai perangai jang baik.” Kita mengandaikan “berbitjara jang sopan” mewujud pada masa sekarang. Orang-orang politik dan kaum goblok di media sosial tentu malu menggunakan bahasa jelek dan kasar. Mereka berhak mengejawantahkan iman dan takwa dengan bahasa-kesopanan dalam menanggapi pelbagai hal: menjauhi fitnah dan pamer komentar sembarangan. Wah, kalimat-kalimat bernasihat!

Kita belajar lagi jadi sopan dan berani. Isi buku Peladjaran Agama Islam mengenai berani: “Sifat berani itu selain memang sangat terpudji, djuga orang jang berani itu sangat disegani. Disegani oleh kawan maupun lawan. Sebaliknja, sifat penakut adalah sifat jang rendah. Pribadi orang jang penakut itu mendjadi merosot dalam pandangan Tuhan maupun masjarakat.” Kita bertepuk tangan membuktikan orang-orang Indonesia adalah pemberani. Berita-berita di televisi dan koran sering memberitakan orang “berani” dalam segala hal: politik, bisnis, kriminalitas, gosip, sepakbola, seni, pelesiran, dan makanan. Orang-orang “berani” bodoh, macet, boros, mubadzir, dan hina. Waduh, sebutan “si pemberani” malah ganti arti! Sekian tahun berlalu, kita malah pernah dikejutkan bahwa buku-buku pelajaran agama membuat murid jadi fanatik. Kita tak melarang fanatik tapi sadar ada doktrin bermusuhan dan menampik toleransi. Buku tentu berdampak buruk. Begitu.

peladjaran-agama-islam

Bahasa Inggris: Berwaktu dan Berlampu

Bahasa Inggris berwaktu, terbukti dengan jam di ketinggian. Belajar bahasa Inggris dalam putaran detik ibarat belajat huruf-huruf bertik-tak. Barangkali gandrung kebangeten membuat orang Indonesia selalu berbahasa Inggris selama 24 jam. Orang sejenis itu merasa di ketinggian, melihat kota bermata bahasa dan melawan waktu sia-sia. Berbahasa Inggrislah tanpa istirahat. Detik-detik jang tercecer tanpa bahasa paling mentereng di dunia. Jarum-jarum waktu bergerak tak capek, bahasa Inggris pun berlari dan berputar tak pernah sambat capek atau ingin berhenti tiba-tiba.

Bahasa Inggris juga berlampu. Di atas jembatan, tiang lampu menjadi penunggu orang-orang melintas dengan tenang dan terburu. Mereka melintasi bahasa Inggris. Konon, bahasa Inggris itu jembatan terbuat dari huruf dan mulut. Orang ingin sampai ke sana, berbahasa Inggrislah! Berjalan atau berlari di atas jembatan, bicara dan berdoa dalam bahasa Inggris. Orang pun tak lupa berdendang atau mengucap penggalan puisi berbahasa Inggris, merasa sedang melintasi jembatan waktu dan melintasi negeri sendiri, minggat ke negeri asing. Di perjalanan, orang melihat lampu. Terang dari lampu agar orang-orang melihat dan girang. Orang pintar bahasa Inggris telah lolos dari kegelapan. Ia mengusir gelap, hidup dalam terpaan lampu terang. Malam pun semakin sulit memiliki arti. Malam berlampu, malan tetap saja berbahasa Inggris.

Ah, pengedar bacaan membual bahasa Inggris. Bualan jelek bermula dari gambar di sampul buku Inilah Bahasa Inggeris oleh Sahala Lumbantobing, HG de Maar, dan HJ van Moll, Noordhoff-Kolff, Jakarta, 1953. Buku bagi orang Indonesia belajar bahasa Inggris: inilah, bukan itulah. Bahasa Inggris dianggap tak berada di kejauhan. Orang Indonesia melihat sampul diharapkan merasa akrab dan kerasan. Ia menganggap London (Inggris) adalah kota “di sini”, bukan kota “di sana.” Orang ingin sempurna bahasa Inggris, berkotalah London. Fasih berbahasa Inggris tapi tetap berada di desa atau kampung, bahasa Inggris terasa terpencil. Eh, sekarang pengajaran bahasa Inggris oleh para sarjana dan mahasiswa sudah sampai ke pedalaman dan pegunungan. Mereka berjanji mengubah nasib dan masa depan ribuan bocah di desa dengan bahasa Inggris.

Penerbitan buku-buku masa 1950-an membuat pelajaran bahasa Inggris jadi mudah dan bermutu. Orang-orang asing dan Indonesia bersaing menggarap buku pelajaran paling ampuh. Di buku Inilah Bahasa Inggeris memuat pengakuan: “Kami berharap dan sudi menerima ketjaman-ketjaman jang sehat tentang buku ini, istimewa pihak guru-guru jang memakai kitab ini dalam pengadjaran bahasa Inggeris, karena, kebenarannja sudah njata dan diakui, bahwa praktik pengadjaranlah jang mendjadi paktor jang memutuskan tentang baik-buruknja sebuah buku peladjaran.” Kita mewarisi buku lama tapi cepat terlena mendapatkan buku-buku baru. Waktu dan lampu cuma di buku, tak lagi bergerak dan terang untuk abad XXI. Sekarang, bahasa Inggris sudah bukan jembatan. Bahasa Inggris itu cuaca untuk dunia. Begitu.

inilah

Desa: Penting dan Asing

Istilah desa bermunculan pada masa 1950-an sampai 1960-an. Semua demi kemajuan Indonesia. “Beberapa predikat untuk desa antara lain: desa adalah sendi negara, desa adalah sendi masjarakat, desa adalah sendi masjarakat untuk didjadikan seni negara, desa adalah pedoman negara dan desa jang kuat bagi daerah swatantra dan negara, desa adalah sumber kehidupan negara keseluruhannja, desa adalah tiang-tiang negara, desa adalah sokoguru jang kuat bagi segala matjam pembangunan,” Bintarto mengutip dari artikel terbitan Universitas Gadjah Mada.

Kutipan itu mengesahkan penulisan buku berjudul Geografi Desa oleh R Bintarto, terbitan UP Spring, Jogjakarta, 1969. Buku dengan kertas buram. Tebal 52 halaman. Kertas buram tak berarti desa-desa di Indonesia sedang buram. Buku diterbitkan “mengingat pentingnja desa saat-saaat pembangunan pada masa ini.” Sejak dulu, desa itu penting bagi raja dan kaum kolonial. Bintarto salah membuat kalimat di halaman pendahuluan. Desa itu penting terus!

Pembaca jangan mencret membaca buku pengantar bagi mahasiswa-mahasiswa dan pejabat ingin menjalankan modernisasi desa. Di buku, pembaca menemukan pesta kutipan berbahasa Inggris. Bintarto menjelaskan desa-desa di Jawa menggunakan referensi berbahasa Inggris, dihadirkan saja tanpa wajib diterjemahkan. Desa sudah “diinggriskan” sejaka masa 1960-an, sebelum para pengusaha perumahan, hotel, rumah makan, dan pariwisata menggantikan desa menjadi village. Sebutan desa terasa kuno dan tak enak diucapkan mulut manusia abad XXI. Simaklah pengertian desa: “… suatu landa settlement jang bersifat rural.” Pembaca belum jelas? Bacalah pendapat berbahasa Inggris: The rural village is principally a place of residence and not primarily a business center. It is composed chiefly of farm dwellings and their associated autbuildings. Buku terasa ngilmiah dan keren.

Apakah orang-orang masa sekarang mengingat pernah mendapat pengajaran geografi desa di sekolah? Dulu, orang belajar geografi desa harus cerdas dan mentas dari kekunoan. Bekal paling penting untuk mengerti banget geografi desa adalah bahasa Inggris. Di halaman 17, desa mungkin perkara asing: “Tiap-tiap desa mempunjai geographical setting dan human efforts jang berbeda-beda, sehingga tingkat keadaan kemakmuran dan tingkat kemadjuan penduduk tidak sama.” Kita jangan tertawa andai kalimat itu disampaikan pejabat kabupaten pada para lurah dan pegawai di balai desa. Di desa belum beraspal dan memiliki satu desa bermerek inpres masuk petang, penjelasan mengandung bahasa Inggris bisa mengakibatkan panu dan boroken.

Di Jawa, desa-desa terjelaskan dengan sungai-sungai. Kehidupan bersama dan sungai menimbulkan ritual, pekerjaan, seni, asmara, dan filsafat. Di buku garapan Bintarto, kekhasan desa di sungai tetap harus “diasingkan” agar ngilmiah: “Untuk Djawa, pola desa pada umumnja djuga mengikuti pola djalur djalan atau  sungai sehingga membentuk suatu pola desa jang disebut line village.” Pengutipan sengaja dihentikan agar tak menularkan sakit lebih parah pada pembaca. Desa memang sangat penting dan asing. Begitu.

geografi-desa

Teater

Pada 1933, terbit buku tentang keaktoran garapan Richard Boleslavsky. Buku itu laris. Puluhan tahun berlalu, buku itu muncul dalam terjemahan bahasa Indonesia oleh Asrul Sani. Buku dijuduli Enam Peladjaran Bagi Tjalon Aktor, terbitan Djaja Sakti, Jakarta. Judul buruk. Asrul Sani mungkin mengikuti judul asli, enggan mengubah ke judul berselera dramatis. Buku itu terasa sekolahan, bukan bacaan untuk orang-orang mau jadi seniman.

Ledekan Asrul Sani: “Umumnja pemain panggung atau film kita tidak menjadari dasar-dasar jang lebih dalam dari seni peran. Karena itu kebanjakan permainan mereka kelihatannja dibuat-buat, tidak mejakinkan.” Di Indonesia, film-film rajin diproduksi dan pentas teater mulai diminati penonton. Para aktor bermunculan tapi dituduh tak paham seni peran. Mereka harus belajar giat agar terhindar seribu cemooh penonton. Pesan Asrul Sani: “…buku seni peran jang pertama dalam bahasa Indonesia ini, akan memberikan sumbangannja bagi perkembangan theater nasional kita.” Dulu, penulisan masih tetap asing “theater”, belum teater. Nah, kita malah ruwet mengartikan teater berkaitan tempat, kelompok, atau cabang seni.

Pelajaran berwujud dialog-dialog. Tulisan enteng agar orang tak semaput akibat sulit paham. Ocehan tokoh “aku” pada gadis: “Setia kepada theater, abdikan seluruh kehidupan padanja, tjurahkan fikiran seluruhnja padanja, bukan sadja fikiran, tapi djuga emosi! Korbankan segala-galanja untuk kepentingan theater, siap untuk menjerahkan kepada theater segala-galanja – seluruh diri – tanpa mengharapkan suatu balasan dari theater, tidak sedikitpun djua dari apa jang oleh kau kelihatannja begitu indah, begitu menarik.” Kita jadi ingat peristiwa di pengujung 2016. Federasi Teater Indonesia di Taman Ismail Marzuki memberikan penghargaan pada orang-orang mengabdi teater, termasuk pengusaha bernama Ciputra. Peristiwa sempat diberitakan di koran-koran, mengutip keterangan dari Presiden FTI Radhar Panca Dahana. Penghargaan teater diberikan rutin setiap tahun, tak semeriah acara penghargaan film.

Di buku, filsafat dan renungan teater bertaburan dalam dialog-dialog. Pembaca senang saja tiba-tiba berhenti untuk renungan sejenak. Teater terasa penting. Penjelasan di halaman 45: “Theater adalah tempat dimana kita memperlihatkan sesuatu jang sebetulnja tidak ada… Disini kenjataan sebenarnja kita ganti dengan tjiptaan. Tjiptaan ini harus njata, dan ia adalah satu-satunja kenjataan jang benar dan boleh ada disana.” Kalimat-kalimat sejenis itu biasa terucap di kelompok teater. Aktor besar biasa berceramah ke orang-orang mengenai keampuhan teater. Barangkali Rendra, Arifin, Putu, Teguh, dan Riantiarno pernah mengutip renungan-renungan teater dari pelbagai buku dan pengalaman untuk membuat para aktor bersetia ke teater.

Buku pelajaran aktor memang penting. Di pelbagai kelompok teater kampus, buku itu mungkin tak pernah diketahui lagi. Para mahasiswa sibuk berteater dengan dua jurus pengakuan: proses dan latihan. Mereka tak mengharuskan diri membuka dan membaca buku. Di kampus, teater itu berbusana aneh dan omongan berlagak seniman tulen. Begitu.

teater

Ngrajap, Mbrangkang

Pada suatu hari, Soekarno pernah ingin “ngrajap” atau “mbrangkang” ke Solo demi Nahdlatul Ulama (NU). Bermula dari perkataan tapi belum mewujud. Orang-orang pasti geger andai Sukarno sungguh-sungguh membuktikan perkataan. “Bung Karno, ada suara-suara menanja kepada saja, Bung Karno tidak rawuh ke Solo itu disangka Bung Karno tidak tjinta kepada NU,” lapor Subandrio. Presiden atau Pemimpin Besar Revolusi menjawab: “Wah, itu berat, kalau saja disangka tidak tjinta kepada NU, lha mbok meskipun saja musti ngrajap, saja akan datang di Solo.”

Petikan percakapan itu disampaikan Sukarno di pidato penutupan Muktamar NU di Solo, 28 Desember 1962. Pidato dibukukan oleh Departemen Penerangan berjudul Dalam Negara Republik Indonesia jang Kuat, Agama Dapat Berkembang Subur. Apakah itu judul buatan Soekarno atau penggampangan judul oleh pejabat di Departemen Penerangan. Sejak muda, Soekarno jika menulis mahir membuat judul. Pidato singkat terdokumentasi dalam buku tipis, 16 halaman.

Pada acara pembukaan, Soekarno ingin datang tapi sulit memilih waktu. Di Jakarta, beliau sibuk banget. Pelbagai cara diusahakan agar sampai Solo. Gagal! Soekarno mengutus Soebandrio. Proklamator bisa hadir saat penutupan meski singkat. Ia berpidato agak lucu dan menantang. Puluhan kalimat bercerita tentang diri, sejak muda sampai menjadi pemimpin revolusi. Soekarno pun bercerita pelbagai tulisan. Sejarah tulisan, sejarah paham. Soekarno berkata: “Oleh karena itu, saja tidak heran, bahwa saja ini orang tjampuran, ja theist, ja nasionalis, jang sosialis, ja pertjaja kepada Tuhan, ja tjinta kepada tanah air, ja tjinta pada tjita-tjita sosialisme.” Kita tak mendapat catatan bhawa orang-orang bertepuk tangan. Aneh. Soekarno tanpa tepuk tangan?

Apa hubungan puluhan kalimat dengan NU? Beliau seperti mengulang: “NU itu, saudara-saudara, bisa saja tindjau dari sudut nasionalis, bisa saja tindjau dari sudut nasionalis, bisa saja tindjau dari sudut agama.” Pujian demi pujian diberikan pada NU, sejak masa kolonial sampai kemerdekaan. NU diakui memiliki peran besar, tercatat dalam sejarah Indonesia. Contoh pengakuan: “NU ikut berkorban, ikut berusaha, ikut membanting tulang, agar supaja segenap kepulauan antara Sabnag dan Merauke tergabung didalam satu negara jang besar dan megah, jang bernama Republik Indonesia.” Perkataan tanpa keraguan.

Soekarno berpidato di hari Jumat, menjelang siang. Ia menjelaskan: “Saja mengandjurkan engkau hidup vivere pericoloso, tetapi djangan hidup vivere pericoloso terhadap Tuhan… Nah, sekarang djuga, saudar-saudara sudah djam 12 kurang seperempat, saja tidak berani vivere pericoloso terhadap Tuhan.” Soekarno sadar sudah tiba saat untuk sholat Jumat berjemaah. Peristiwa sholat di Solo itu tak tercatat sebagai sejarah penting. Puluhan tahun dari muktamar, pidato, dan sholat Jumat di Solo, kita jadi “penonton” untuk peristiwa besar berjulukan 212 (2 Desember 2016). Di Monas, ribuan orang sholat Jumat. Presiden saja ikut. Peristiwa itu bersejarah akibat gencar diberitakan oleh pelbagai media. Tuah dari siaran langsung. Begitu.

ngrajap

Kamus Lusuh

Pada hari terakhir bertahun 2016, buku tebal dan lusuh tergeletak di lantai. Ia bergabung dengan lembaran kertas usang, sampah, dan debu-debu menebal. Tatapan mata dari atas agak sulit memastikan judul buku. Bentuk lekas mengingatkan pada kamus. Di dekat kaki bersandal jepit, buku itu diambil lelaki berkumis. Nah, Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan WJS Poerwadarminta. Kamus dengan bau tak sedap. Kondisi tampak memelas. Kamus itu diterbitkan oleh Perpustakaan Perguruan Kementerian PP dan K, Jakarta, 1954. Kamus cetakan kedua. Kamus tua dan merana. Berapa harga? Si pedagang berwajah semringah. Percakapan sejenak. Harga pun murah! Dulu, kamus itu memiliki harga 53 rupiah.

Kamus Umum Bahasa Indonesia terbit 1952. Semula, kamus diterbitkan oleh Balai Poestaka. Orang-orang sangat memerlukan kamus. Dua tahun berselam, kamus cetak ulang. Poerwadarminta senang dan beruntung melihat orang-orang rajin membuka kamus dalam mempelajari dan mengembangkan bahasa Indonesia. Kamus itu membuat Poerwadarminta semakin terkenal. Pemerintah pun tak ragu menetapkan beliau sebagai bapak perkamusan di Indonesia. Ia memang rajin mengerjakan kamus tapi tak sendiri saja. Di Indonesia, kita memiliki tokoh-tokoh perkamusan tapi jarang dicatat dan diumumkan pemerintah sebagai teladan. Poerwadarminta telanjur jadi andalan sepanjang masa.

Hal terpenting dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia cetakan kedua tentu pengantar dari Poerwadarminta. Beliau cuma memberi satu kalimat saja. Satu kalimat dengan dua koma dan satu titik. Keren! Pengantar panjang dan menjemukan tak dihadirkan di kamus. Beliau sadar pembaca bakal menangis jika mendapat pengantar panjang tapi jelek banget. Satu kalimat mungkin sudah memberi bahagia bagi keikhalsan membelanjakan uang untuk kamus tebal. Kalimat ditulis di Jakarta, Februari 1954: “Tjetakan ini, selain perbaikan salah tjetak dan tambahan sedikit-sedikit, tiada bedanja dengan tjetakan pertama.” Beliau sakti, bukan manusia pelit.

Isi kamus sama dengan cetakan pertama. Apakah kita bakal nekat mencari perbedaan sekecil biji sawi? Ah, kamus belum bertambah isi. Poerwadarminta mungkin sedang mengumpulkan lagi ribuan kata, belum sempat masuk ke cetakan kedua. Tahun-tahun berlalu, kamus itu dilanjutkan oleh institusi kebahasaan milik pemerintah. Kamus terus cetak ulang dengan penambahan dan perbedaan di halaman pengantar. Poerwadarminta sudah berpamit dari dunia, kamus itu tetap sampai ke sekolah, kantor, dan kamar. Orang-orang masih ingin kamus.

Kamus itu mulai menghuni Bilik Literasi. Pada malam ramai dan berisik oleh kembang api, kamus diam saja. Ia masih malu berjumpa kamus-kamus sebagai penghuni awal di Bilik Literasi. Malam hampir berlalu. Keramaian belum rampung. Di televisi, dua klub besar di Inggris sedang saling meraih kemenangan. Kamus tetap diam. Kamus itu tak pernah mengetahui sedang berada di malam bimbang. Ia berhasil “hidup” sampai puluhan tahun meski lusuh. Begitu.

kamus-lusuh

Alangkah Moleknja…

“Saja rupanja didjadikan objek tourisme djuga.” Perkataan Soekarno saat berpidato di Gedung Balai Pemuda, Surabaya, 14 Juni 1958. Siapa masih mengingat peristiwa “terpenting” dalam sejarah-perkembangan pariwisata di Indonesia? Presiden dan para menteri berkumpul dan rapat untuk memajukan pariwisata pada masa revolusi. Soekarno sesumbar: “Saja ulangi lagi saudara-saudara kejakinan saja , tidak ada satu tanahair dimuka bumi ini setjantik semolek tanahair jang kita namakan Indonesia.” Indonesia itu cantik dan molek. Dulu, ratusan tahun silam,  orang-orang asing juga memberi sebutan hampir sama: cantik, molek, anggun, indah, dan permai. Indonesia sudah mengundang berahi pariwisata.

Di tengah pidato, Soekarno menantang orang-orang mencari terjemahan paling tepat dan apik untuk sebutan tourisme ke bahasa Indonesia. Presiden memberi kesibukan bagi pejabat dan ahli biasa. Di akhir, Soekarno mengajak orang-orang berdoa dengan tujuan  “memperhebat usaha kita, mengenal diri kita sendiri dengan djalan mempertinggi inter-insuler tourisme, internasional tourisme dalam arti tourisme ke Indonesia dan dharmawisata-dharmawisata.” Kita belum memastikan ada doa resmi pariwisata susunan Kementerian Agama.

Petikan informasi itu berasal dari buku berjudul Tjinta Tanahair Harus Kita Perdalam dan Perluas! Buku disusun dan diterbitkan oleh Djawatan Penerangan Republik Indonesia-Jawa Timur. Pidato Soekarno dan para menteri didokumentasi dalam buku tipis tapi penting dalam referensi sejarah pariwisata di Indonesia cantik-molek. Kita teringat lagu berjudul “Tamasja” gubahan Saiful Bahri, lagu di film Tiga Dara (1956). Lirik menggemaskan: Tamasja, tamasja/ tamasja, tamasja/ Kita bergermbira, kita bergembira… Lihatlah indahnja/ lihatlah indahnja…  Alangkah moleknja/ alangkah indahnja/ Tjantik rupawan… Kita masih bingung kepatutan sebutan dalam bahasa Inggris, Melayu, dan Jawa. Pada masa 1950-an, pariwasa itu serius menunjang revolusi.

Menteri Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan Prijono ikut berpidato sejenak dengan informasi kecil: “Di Eropa ada pulau ketjil jang djuga terkenal oleh karena banjak djuga tourist jang datang kesitu, kalau ada orang memegang alat pemotret, jang akan dipotret itu sudah mengatjungkan tangannja meminta upah sehingga harkat manusia seakan-akan turun oleh karena tourisme itu. Saja jakin hal jang sematjam itu tidak akan terdjadi di Indonesia.” Orang pergi jauh bermaksud mengumpulkan potret di pegunungan, danau, pantai, laut, sawah, taman, jembatan, air terjun, dan hutan. Berpotretlah sampai mampus. Potret itu tiket masuk sorga. Konon, pujangga mengisahkan sorga adalah tempat wisata paripurna.

Tugas mendapatkan untuk dalam membangun Indonesia juga dijalankan Kementerian Penerangan. Pewartaan ke orang-orang di pelbagai negara asing dikerjakan serius agar jumlah kunjungan turis terus bertambah. Soedibjo mengatakan: “Tanda-tanda menundjukkan bahwa usaha-usaha penerangan liwat tourisme membawa pengharapan bahwa perhatian para pelantjong luar negeri terhadap Indonesia mendjadi lebih besar, dan tanpa diminta, para pelantjong itu akan mendjadi propagandis-propagandis Indonesia jang berharga…” Kerja besar pariwisata pada masa pemerintahan Soekarno memang “mewarisi” ilmu dan strategi kolonial. Usaha memajukan pariwisata mulai disampaikan dengan perubahan-perubahan memunculkan khas Indonesia. Para menteri bekerja agar jutaan orang berpotret di Indonesia dan membelanjakan uang tanpa ragu. Begitu.

turisme

Kemesraan Budi Pekerti

Sampul buku tampak menggoda. Buku berjudul serius: Masjarakat dan Kemadjuan. Buku ditulis oleh Djarnawi Hadikusumo, terbitan Saiful, Medan, 1949. Tebal 80 halaman. Filosof membawa buku sedang berjalan. Di pundak, burung dengan mata awas. Ia mungkin pemberi penjelasan-penjelasan tentang “masjarakat” dan “kemadjuan”. Si penjelas berasal dari masa silam, datang dari negeri sangat jauh. Penulis mungkin mengundang si filosof agar isi buku bermutu.

Pada masa 1940-an, “masjarakat” itu tema penting banget berkaitan kemerdekaan Indonesia. “Kemadjuan” sudah sejak awal abad XX memiliki ribuan cerita dan tafsir. Djarnawi Hadikusumo mempertemukan “masjarakat” dan “kemadjuan” dalam buku bercorak sosiologis. Penjelasan pokok: “Selama dunia terkembang, manusia akan dipengaruhi oleh masjarakat dan setidaknja keadaan disekelilingnja. Tetapi masjarakat itu djuga terdjadi dan bertjorak karena pengaruh manusia. Sebab itu masjarakat dan manusia menjadi soal jang senjawa. Soal masjarakat adalah soal manusia dan soal manusia adalah soal masjarakat.” Pembaca telah memperoleh isi buku dengan sedikit kalimat.

Sendi terpenting untuk hidup bersama bukan uang, baju, makanan, mobil, gelang, kosmetik, sepatu, bedil, pohon, sungai, atau slogan. Orang-orang berkumpul dan mufakat hidup bersama bersendi pekerti. Apa itu pekerti? Pembaca mendapat penerangan dari Djarnawi Hadikusumo: “Tiap-tiap orang mendjadi anggauta masjarakat. Manusia mempunjai pribadi, mempunjai pengertian dan watak. Dari tiga anasir ini lahir pekerti.” Kita tentu mencari pasangan pekerti. Di Indonesia, pasangan sejati tentu budi pekerti. Sekarang, budi pekerti moncer lagi, setelah orang-orang melupakan akibat terlena menonton pasangan Galih-Ratna dan Rangga-Cinta.

Di mana budi? Penulis tak menaruh budi di halaman bersama. Budi muncul setelah pekerti, halaman 23. Pembaca mungkin sempat sedih tak menjumpai budi. Kesabaran diperlukan agar sedih mendadak berubah tepuk tangan. Djarnawi Hadikusumo memberi uraian terang, tak meniru bahasa filosof: “Budi adalah sendi masjarakat jang pertama, karena segala tingkah laku dan pekerti manusia dikendalikan oleh budinja. Dari pekerti seseorang dapat ditentukan bagaimana keadaan budinja. Pekerti ialah kelakuan sesorang beserta tabiatnja.” Pekerti dan budi bertemu di alinea pendek. Pasangan akur, tak pernah bertengkar atau saling mencemarkan nama baik.

Kita beralih mempelajari “kemadjuan”, setelah budi dan pekerti hadir di halaman-halaman awal. Di halaman 66: “Kemadjuan semakin pesat sedjak dipergunakan mata wang mendjadi alat tukar menukar. Manusia berebut-rebut mentjari wang, segala daja upaja hanja ditudjukan untuk mendapat wang. Dengan hal demikian dasar penghidoepan manusia sudah berobah dari asalnja, kalau dahulu mereka mentjari makan dan sekadar hadjat hidupnja, maka pada zaman peradaban mereka mentjari kekajaan.” Pembaca sudah dipahamkan dulu saat membaca penjelasan-penjelasan tentang budi pekerti. Pembaca tentu tak ingin mengalami kemajuan tanpa budi dan pekerti. Uang diusahakan  jangan mengganggu kemesraan budi pekerti di Indonesia. Begitu.

budi-pekerti

Gandrung Bahasa Indonesia

Penerbit beralamat di Patjinan 9, Jogjakarta, bernama UP Indonesia pernah menerbitkan buku berjudul Tata Bahasa Indonesia untuk Sekolah Landjutan Atas (1956) susunan Tardjan Hadidjaja. Buku berukuran besar, 130 halaman. Pada masa lalu, buku mungkin berharga mahal. Orang mau mahir berbahasa Indonesia mengeluarkan ongkos melebihi saat membeli gorengan, krupuk, atau es kucir. Buku mahal tak usah diprotes berlebihan andai membuat para murid pintar berbahasa Indonesia, bukan berbahasa amburadul. Di sampul buku, tercantum harga 16 rupiah.

Penerbit menerangkan: “Kami ketahui bahwa pengarangnja berusaha dengan teliti dan tjermat mempergunakan tjara tertentu guna menjusun Tata Bahasa ini. Tjonto-tjonto dan kutipan-kutipan jang dikemukakan didalam buku ini adalah hasil penilaiannja akan bahasa jang dipergunakan dizaman jang silam dan jang tersusun dizaman sekarang. Maka, penilaiannja itu meliputi banjak lingkungan, maupun kata-kata baru, baipun gaja bahasanja.” Pembaca terkejut membaca keterangan. Huruf “h” belum berjodoh dengan “tjonto”. Huruf “h” masih bocah, belum pernah mimpi basah. Ia belum berpelukan alias bersatu dengan “tjonto” untuk menjadi “tjontoh”.

Apa itu kata? Para pujangga Indonesia sering menggubah puisi mengurusi kata. Kita ingat puisi Chairil Anwar, Subagio S, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, dan Sitor Situmorang. Kata hampir jadi filsafat dalam puisi meski mereka tak pernah menulis buku tata bahasa atau buku serius mengenai linguistik. Tardjan Hadidjaja memberi penjelasan pendek, tak serupa puisi atau bualan pujangga: “Segala apa jang dilisankan orang dengan pengertian jang tertentu namanja perkataan. Bagian jang terketjil dalam perkataan jang masih mengandung arti disebut dalam tatabahasa dengan nama kata.” Kita sangat sembrono jika menuduh huruf “h” telah membuat perkataan mengandung arti. Di desa, “arti” itu bocah perempuan lugu dan kehilangan biografi utuh orangtua. Huruf “h” tak pernah berkencan atau menjalani adegan di ranjang bersama “perkataan”. Huruf “h” menginginkan “tjonto” untuk jadi pacar saja, tak kebablasan jadi mengandung arti.

Pada masa 1950-an, murid-murid belajar bahasa Indonesia menunjang kesungguhan berbangsa dan bernegara. Bahasa seperti memiliki undang-undang atau peraturan. Murid mempelajari agar benar. Salah tetap saja terjadi tapi murid dilarang diajukan ke pengadilan gara-gara gagal mengerti kata benda, kata sifat, kata kata kerja, kalimat tunggal, dan kalimat susun. Belajar bahasa harus serius tanpa ada ancaman masuk penjara atau denda ribuan rupiah.

Di sekolah, buku Tata Bahasa Indonesia tentu penting membimbing murid agar tak salah menentukan arah dan memajukan mutu berbahasa Indonesia. Kemahiran dan gandrung bahasa Indonesia sesuai konstitusi mungkin mempengaruhi pembentukan kerpribadian nasional. Murid pun bakal santun dan pintar. Bahasa Indonesia membuat murid malu berbuat mesum, mencuri, membunuh, dan membakar hutan. Bahasa memang terlalu penting. Begitu.

gandrung