Di Bawah Langit

Para tokoh pergerakan politik kebangsaan memiliki pilihan olah raga beragama. Mereka tak menghabiskan usia dengan pidato atau rapat. Olah raga diperlukan agar sehat. Jong Java dan Jong Sumatranen Bond memiliki program mengajak para anggota berkeringat dengan sepakbola. Sekian orang memilih olahraga berbeda: bulu tangkis dan tenis. Sejak masa kolonial, tenis menjadi olahraga “terhormat” meski tak setenar sepakbola. Bulu tangkis mulai berkembang pesat pada masa 1930-an. Kita cuma ingin mengenang tenis, berharap membuka ingatan masa lalu memuat cerita tetesan keringat di lapangan.

Tenis terus jadi kegemaran bagi orang berduit untuk membeli raket, busana, dan sewa lapangan pada masa 1940-an dan 1950-an. AA Katili mencatat perkembangan itu dengan menulis buku berjudul Olah Raga Tennis, diterbitkan oleh Balai Pustaka, 1952. Cetakan pertama pada 1944. Siapa Katili? Oesman Sastroadmidjojo memberitahukan: “Dunia tennis Indonesia mengetahui siapa Katili itu. Bekas djuara PELTI (Persatuan Lawn Tennis Indonesia) untuk tahun 1940 dan djuara Djakarta tahun 1943 ini, dengan membuat buku tennis ini membuktikan, bahwa ia tidak hanja pandai mempergunakan racketnja, tetapi djuga tjakap memakai penanja. Ia mengerti betul, apa jang dibutuhkan kaum penggemar tennis.” Konon, buku garapan Katili adalah buku pertama tentang tenis di Indonesia. Sebutan pertama untuk buku berbahasa Indonesia. Dulu, kaum penggemar tenis mungkin sudah membaca dulu buku-buku berbahasa Belanda atau Inggris.

Sejarah tenis bermula dari Prancis. Katili membahasakan: “Pada tahun 1874 permainan ini buat pertama kali dimainkan dibawah langit atas andjuran Major Wingfiled…” Penjelasan “di bawah langit” terkesan puitis ketimbang dimainkan di atas lapangan. Tenis dipaksa memiliki hubungan erat dengan langit. Barangkali para pemain awal ingin mendapat restu Tuhan. Tahun demi tahun berlalu. Tenis sampai ke Indonesia. Orang-orang bermain tenis di bawah langit Indonesia saat masih dijajah Belanda. Sebutan orang-orang itu tak harus Jawa, Sunda, Batak, atau Bugis. Keterangan dari Katili: “Dahulu jang bermain tennis di Indonesia hanja orang-orang Tionghoa, Djepang, dan Eropah. Orang Indonesia sendiri sedikit sekali, karena mahalnja alat-alat itu mendjadi rintangan jang amat besar.”

Tenis di dunia telah dipertandingkan dengan hadiah-hadiah besar. Para pemain dari pelbagai negara bersaing merebut kejuaraan tenis. Nama mereka tenar, negara pun terhormat. Pada awal abad XX, Amerika memiliki pemain-pemain hebat. Di Asia, pemaian-pemain Jepang dianggap memiliki kekuatan tak kalah dari pemain Eropa dan Amerika. Siapa ingin bertanding dan menang harus memiliki modal besar. Katili menganjurkan: “Tetapi tiap-tiap pemain sebelum bertanding haruslah mengharap supaja permainan akan lebih kuat kelak dari jang sudah-sudah. Seperti djuga dalam peperangan tiada baik kalau lasjkar-lasjkar lebih dulu sudah akan merasa kalah, sebelum bertempur, sebelum mengukur kekuatannja dengan kekuatan lawan.” Suasana perang mempengaruhi penulisan tentang tenis. Di bawah langit, bermain tenis ibarat perang.

Perkembangan tenis di Indonesia lambat. Kita memiliki cerita besar saat Yayuk Basuki rajin mengikuti pertandingan-pertandingan internasional. Indonesia mulai tercatat di daftar peringkat dunia, tak pernah di nomor satu atau dua. Kini, pemain tenis terkenal itu berpolitik di bawah atap gedung parlemen. Tenis pun semakin digemari meski belum akrab dimainkan di bawah langit pedesaan. Begitu.

Tenis

Kuntum dan Bunga

Amir Hamzah Nasution menulis buku berjudul Djiwa dan Alam Kanak-Kanak I: Anak-Ibu (Gunung Agung, 1953) dengan harapan besar: “Perbaikan dan Kemadjuan kuntum dan bunga bangsa Indonesia.” Harapan itu puitis. Dulu, penulis biasa pamer bahasa agar dipuji sebagai pemikir bangsa dan negara Indonesia. Pilihan ungkapan diusahakan puitis meski cepat basi. Kalimat puitis harapan bertambah di pendahuluan: “Bangsa Indonesia jang baru sadja keluar dari kegelapan ilmu pengetahuan, baru sajda lepas dari kungkungan dan pengaruh pendidikan kolonial, dalam waktu singkat harus mengedjar ketinggalannja, harus menaikkan deradjatnja lahir batin, djasmai dan rohani.” Pembaca diminta membuktikan tanggung jawab dengan mengerti anak-ibu, tokoh-tokoh penentu Indonesia.

Buku dikerjakan berbahasa Indonesia, bersumber dari buku-buku berbahasa asing. Buku sumber tak mencantumkan buku berbahasa Indonesia. Di Indonesia, Amir Hamzah Nasution mungkin tak pernah mendapatkan buku tentang anak-ibu. Penggunaan sumber asing bisa berdalih “terpaksa” atau pamer ilmu. Kita menduga saja. Amir Hamzah Nasution malas melacak penjelasan anak-ibu dalam buku-buku lawas berbahasa Jawa, “Melajoe”, Sunda, atau Arab. Urusan anak-ibu mesti bersumber dari negara-negara jauh. Barangkali buku memandu pembaca agar bisa menghormati ibu dan mengasuh anak sesuai kemajuan di Eropa dan Amerika, tak wajib bernuansa Indonesia.

Di halaman-halaman awal, pembaca bertemu penjelasan dari masa Yunani sampai ke abad XX. Kemajuan di Eropa jadi contoh perubahan gagasan tentang ilmu jiwa anak. Indonesia disebut dengan ingatan sebagai bangsa pernah menuruti otoritas dukun. Di Indonesia, ilmu jiwa anak terlambat berkembang dibandingkan Eropa dan Amerika. Pembaca jangan cepat protes pada penulis. Pengaruh Eropa-Amerika memang tampak banget di buku. Di halaman 26, pembaca agak mesem saat membaca penjelasan Amir Hamzah Nasution mengunggulkan Timur. Indonesia bagian dari Timur: “Djiwa bangsa-bangsa Timur telah terkenal sutji dan peramah dari semula dasarnja! Sampai sekarang djiwa bangsa Indonesia sebagian besar masih bersih, masih bersifat gotong-rojong (kemasjarakatan), masih bersemangat ketuhanan, sehingga pimpinan jang bidjaksana dan usaha-usaha pendidikan jang harmonis masih mempunjai tanah jang subur dan dasar-dasar jang bersih. Sebelum terlambat atau sebelum menjimpang!” Uraian itu mungkin dikerjakan saat penulis masih mengantuk atau setelah menghabiskan sarapan.

Pembaca berganti saja ke halaman-halaman lain agar terhindar dari kalimat-kalimat tak berargumentasi. Kangen pemikiran Barat bisa dilegakan dengan membaca kutipan dari Immanuel Kant di halaman 44-45: “Tangis anak lahir ialah satu proses rohani manusia terhadap belenggu kepantjaindraan jang akan dihadapinja dalam hidup didunia baru jang dimasukinja…” Kutipan itu ingin mengesahkan kepintaran penulis. Pada masa 1950-an, mengutip dari pemikir-pemikir asing bisa meninggikan martabat intelektual.

Buku itu sulit dibaca ibu-ibu berpendidikan SR atau hidup miskin di pedesaan. Buku itu serius! Pembaca diharapkan berbekal filsafat, psikologi, sejarah, dan pendidikan agar lancar membaca buku berbahasa Indonesia tapi berselera “asing”. Buku diterbitkan dalam seri “Rahasia Terbuka.” Rahasia tak boleh terlalu lama diam. Si pembuka rahasia sudah mengajak kita melintasi jalan-jalan kemajuan meski harus bersumber pada 9 buku berbahasa asing. Begitu.

Alam Kanak

Hamil dan Sulbuk

Lima bulan telah berlalu dari pernikahan Karim-Mariam. Malam-malam dengan kenikmatan telah dilakoni: ikhlas dan menggairahkan. Kejadian itu mengakibatkan Mariam hamil. Karim berhasil menghamili atau menanam benih. Alhamdulillah. Kehamilan ditandai dengan “tidak mendapat haid tiga bulan.” Mariam dan Karim tampak senang. “Supaja tidak ragu-ragu, pergilah Mariam kepada bidan untuk diperiksa. Mariam tahu bahwa seorang bidan paling sedikit dua tahun mempeladjari ilmu kebidanan. Bidan itu mengetahui benar akan tanda-tanda orang hamil. Dan iapun mengetahui benar akan aturan-aturan memelihara orang hamil,” tulis S Sutadiredja dalam buku berjudul Pendjagaan Diri Wanita Hamil, diterbitkan Pustaka Rakjat, Jakarta, 1952. Gambar-gambar oleh Sajuti Karim. Tebal 36 halaman.

Gambar di sampul: Mariam sedang membuat sulaman. Busana dan adegan itu khas masa lalu. Istri memiliki keterampilan di rumah, menikmati waktu senggang dengan tindakan dan kebahagiaan. Kini, istri memilih bertugas menjadi penonton televisi: marah dan menangis saat mengikuti sinetron India dan Turki setiap hari, pagi sampai malam. Mariam belum tercemar televisi. Mariam juga tak membuat tangan sibuk mengurusi gawai. Tangan untuk jarum, benang, kain, dan gunting.

Mariam memeriksakan diri ke bidan. Pelbagai keterangan diberikan meski bidan belum berani memastikan Mariam hamil. Tahap-tahap pemeriksaan belum selesai. Bidan memberi buku kecil berjudul Haid pada Mariam sambil berpesan: “Didalam buku ini banjak sekali peladjaran jang sangat berguna untuk saudara. Nanti, kalau sudah diketahui benar isinja, adjarkanlah pula kepada tetangga-tetangga saudara jang belum tahu. Dengan djalan demikian tersebarlah pengetahuan jang saudara peroleh itu, sehingga masjarakat kita dapat bertambah pengetahuan dan ketjerdasannja.” Periksa ke bidan malah mendapat buku. Pesan bidan dituruti Mariam. Di samping halaman cerita, pembaca melihat gambar Mariam sedang menerangkan isi buku pada enam perempuan. Hamil memicu gairah literasi!

Sebulan berlalu. Bidan memastikan Mariam hamil. Ciri-ciri orang hamil semakin terbukti. Mariam berkata pada bidan jika mengalami malas saat hamil. Bidan pun menjelaskan: “Itu baik. Memang orang hamil itu tidak boleh mengerdjakan pekerdjaan jang berat-berat, seperti menimba, mentjutji pakaian, mengangkat medja atau jang lain-lain. Lebih-lebih dalam tiga bulan jang pertama.” Malas itu baik. Malas berarti tidak melakukan pekerjaan berisiko bagi ibu hamil. Kita pun mengerti jika ibu hamil dilarang bekerja meruntuhkan Monas, menguras kolam di Bundaran HI, menebang ribuan pohon di hutan Kalimantan, atau membersihkan Bengawan Solo. Pekerjaan-pekerjaan itu terlarang. Istri sedang hamil dilarang. Suami juga dilarang membuat kerusakan-kerusakan dunia.

Bulan demi bulan berlalu. Sebutan purnama seperti dalam percintaan Rangga-Cinta belum berlaku. Pada bulan ke sembilan, Mariam bersiap melahirkan. Mariam memilih persalinan di rumah saja. Bidan bersedia menuruti kemauan Mariam. Dulu, persalinan ke rumah sakit masih jarang. Barangkali takut ongkos mahal. Sutadiredja menutup cerita dengan indah: “Pada pagi-pagi hari Senin lahirlah anak Mariam dan Karim jang pertama. Anak itu laki-laki. Berkat nasihat, pemeliharaan dan pertolongan Bu Bidan, selamatlah Mariam melahirkan anaknja.” Pembaca tak mendapat keterangan tentang nama anak. Kita beri saja nama Sulbuk, berarti sulaman dan buku. Sulaman dari ibu dan buku dari bidan. Begitu.

Hamil

Bahasa dan Kebijaksanaan

Buku bersampul foto Soeharto dalam sedang memberi hormat. Lelaki gagah dan ganteng. Pada masa 1965-1967, Soeharto tampil sebagai idola. Beliau bukan artis tapi telah berlaku menjadi pemain terpenting dalam lakon politik Indonesia. Di atas foto Soeharto, tulisan berhuruf kapital: KEBIDJAKSANAAN. Di bawah foto, pencantuman nama: PAK HARTO. Bagian bawah, propaganda penerbit agar orang-orang mau jadi pembaca buku: “Untuk memahami dan mendalami kebidjaksanaan Pak Harto selaku Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban… Pedjabat Presiden RI… dapat Anda djumpai dalam buku ketjil ini.” Buku diterbitkan pada tahun 1967 oleh GRIP, Surabaya. Buku disusun oleh Soeripto. Buku penting dalam sejarah awal kebesaran Soeharto sebagai penguasa di Indonesia.

Penggunaan istilah “kebidjaksanaan” mungkin salah jika kita membaca pada masa sekarang, setelah keruntuhan rezim Orde Baru, 1998. Istilah itu ada di Pancasila. Pada masa 1960-an, sebutan “kebidjaksanaan” biasa berlaku dalam politik, hukum, sosial, dan keamanan. Apakah kita ingin mengganti sebutan menjadi kebijakan? Dua sebutan itu masih harus diurusi secara kebahasaan sebelum diperkarakan berkonteks politik 1960-an. Buku sudah menjelaskan bahwa Soeharto itu menghasilkan kebijaksanaan-kebijaksanaan.

Pada 6 Februari 1967, Soeharto berpidato dalam sidang kabinet paripurna. Judul pidato: “Kebidjaksanaan Pemerintah.” Kebijaksanaan terdapat dalam kalimat-kalimat apik: “Seluruh aparatur negara harus dapat mengarahkan dan menundjukkan kegiatan-kegiatannja sesuai dengan azas demokratis konstitusionil itu serta sesuai dengan djiwa Orde Baru.” Sejak hari permulaan, Soeharto menghendaki demokrasi-konstitusional. Beliau memang bijaksana, tak bercita-cita jadi diktator. Barangkali kebijaksanaan terpenting ada di pendidikan. Soeharto berkata: “Masalah jang perlu mendapat sorotan chusus adalah masalah pendidikan. Sebagai akibat G-30-S, ribuan tenaga guru telah dibebaskan dari tugas, sekolah-sekolah dasar terutama mengalami pukulan jang berat, pada satu fihak memang djumlah sekolah dasar jang ada tidak dapat menampung arus masuk murid-murid baru, pada lain fihak tenaga guru sangat kurang.” Apakah Soeharto bersedih dan sempat menangis memikirkan SD dan para guru demi pembesaran Orde Baru. Kita tentu sangat bangga pada Soeharto sebagai pemikir serius masalah pendidikan.

Kita ingin meneladani Soeharto sebagai pengguna bahasa berisi kebijaksanaan-kebijaksanaan. Di sekolah, Soeharto mungkin suka pelajaran bahasa dan rajin mengarang. Kalimat-kalimat dalam pelbagai pidato sering indah dan bermakna. Kita bisa menikmati kalimat-kalimat dalam pidato di Sidang Istimewa MPRS, 12 Maret 1967. Soeharto berkata: “Djiwa besar Orde Baru sudah nampak lebih djelas dilaksanakan, jaitu bahwa rasa tanggung djawab kita bersama telah merasa terpanggil, sehingga kita bersama mampu menundukkan kepentingan golongan sendiri dan diri sendiri kepada kepentingan jang lebih tinggi, jaitu kepentingan rakjat, bangsa, dan negara.”

Buku berjudul Kebidjaksanaan Pak Harto pantas masuk ke museum. Buku dengan kertas buram bisa jadi bacaan mengenang masa awal Orde Baru. Kita tentu sangat ingin mengagumi Soeharto. Beliau berperan sebagai tokoh utama dalam film terpanjang berjudul Orde Baru. Buku mengiringi langkah-langkah beliau dalam mengurusi Indonesia. Soeharto memang berlaku bijaksana demi bangsa dan negara. Begitu.

Soeharto

Pemukul Huruf

Konon, Soekarno tak bisa menggunakan mesin ketik. Beliau memilih menulis dengan pena dengan huruf-huruf bersambung. Di masa sekolah, sebutan untuk tulisan bersambung secara rapi dan indah adalah menulis halus. Sejarah pun ditulis Soekarno sesuai kelincahan menjadikan pena menari di lembaran kertas. Teks proklamasi berwujud tulisan tangan. Sajuti Melik bertugas mengetik. Detik-detik sebelum sejarah besar diumumkan, mesin ketik tentu mengeluarkan suara-suara merdu saat digunakan Sajuti Melik. Pembaca Di Bawah Bendera Revolusi juga menemukan artikel bertuliskan tangan Soekarno, ditaruh di belakang. Dulu, mesin ketik menghasilkan kejuatan-kejutan ide dan imajinasi. Mesin tik itu hadiah terindah di abad XX.

Kini, mesin ketik jadi kenangan puitis. Afrizal Malna di Kompas, 21 Mei 2016 masih mengenangkan mesin ketik. Di puisi berjudul “blackboard”, Afrizal Malna menulis: sama kangennya gue dengan mesin tik, terutama saat/ kertas terakhir habis diketik dan lepas dari rolnya, sementara tulisan belum kelar./ saat itu gue merasa tulisan adalah nyawa yang terus mencari tubuhnya. Kaum intelektual dan pujangga pada masa lalu merasa romantis dan revolusioner dengan mesin tik. Mereka pun belajar menggunakan mesin tik di sekolah, rumah, dan kantor. Dulu, kursus-kursus pun diadakan agar orang-orang terampil mengetik dengan 10 jari.

Pada 1951, terbit buku berjudul Dengan 10 Djari: Metode Beladjar Mengetik karangan A Hageraats, diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh MH Rambitan. Buku diterbitkan Neijenhuis & Co NV Uitgevers, Jakarta. Cetakan pertama pada 1947. Tebal 80 halaman. Di sampul buku, mata pembaca melihat benda cakep: mesin ketik. Benda menghasilkan huruf dan suara. Benda idaman saat zaman telah modern. Mesin tik pernah berharga mahal. Mesin tik biasa menghuni kantor dan sekolah. Di rumah-rumah orang biasa, mesin tik sudah dianggap mewah.

Hageraats menjelaskan: “Metode jang dipakai dalam kitab ini hanja dalam satu hal berbeda dengan metode buku-buku peladjaran mengetik dengan sepuluh djari jang lain, ja’ni dalam hal tekanan pada djari pada djedjer pemukul huruf-huruf dibawah sekali. Huruf z tidak dipukul dengan djari kelingking, melainkan dengan djari manis, sedangkan huruf x dipukul dengan djari tengah. Hal ini bukan sadja meringankan tugas djari kelingking kiri, tetapi dalam praktek telah ternjata bahwa peraturan peletakan djari jang sedemikian mudah sekali untuk mengetik pelbagai pertalian huruf-huruf.”

Julukan bagi pengetik itu pemukul huruf. Raga mesti sehat dan kuat. Menu makan dan minuman diusahakan mengandung gizi, protein, dan mineral. Raga kuat menjadikan pemukul huruf bisa rajin mengetik. Pemukul huruf bukan preman atau musuh dalam komik pencak silat. Kita mengenali pemukul huruf adalah murid, sekretaris, wartawan, dan pujangga. Mesin tik di atas meja tak pernah menangis dan menjerit saat mengalami pemukulan. Si pemukul huruf mengaku tak berlaku kejam tapi sedang bekerja atau menunaikan tugas sastra. Jari-jari bergerak demi kemunculan hurud di kertas. Huruf muncul diiringi suara-suara khas.

Abad XXI tak lagi bercerita mesin tik. Jari-jari tak lagi lincah dan lelah memukul demi huruf-huruf. Raga kita sudah dientengkan oleh benda-benda terbaru. Buku karangan Hageraats bersiap masuk gudang atau museum. Kita boleh mendoakan buku itu agar tak lekas hilang saat mesin tik dijual ke tukang rongsok. Mesin tik mungkin dihancurkan dengan dakwaan besi tua. Begitu.

Mengetik

 

Bantal, Kopi, Dua Sejoli

Pakar bahasa Indonesia pernah berkata bahawa peribahasa tak lagi memberi urun besar dalam penggarapan Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi terbaru. Peribahasa mungkin dianggap sudah berhenti di masa lalu. Peribahasa berhenti di mana? Apakah ia kehabisan bensin, ban bocor, atau mesin rusak? Peribahasa sudah dianggap masa lalu, masih mungkin menghuni di buku pelajaran meski gampang saja diabaikan. Peribahasa milik kaum leluhur, ratusan tahun silam. Mereka membawa peribahasa sampai masuk ke kuburan.

Pada 1966, terbit buku berjudul 700 Peribahasa Indonesia susunan R Maskar Gandasudirdja. Cetakan XV. Buku diterbitkan oleh Toko Buku Ekonomi, Bandung. Kapan cetakan pertama? Buku laris pada saat orang-orang bertengkar ideologi dan saling mengeluarkan kata-kata buruk, jahat, dan fitnah. Barangkali peribahasa rajin digunakan pejabat dan kaum politik dalam pidato, perdebatan di parlemen, atau pembuatan brosur politik. Peribahasa mungkin saja membesarkan ideologi dan menghabisi musuh secara puitis. Buku itu bukan pedoman berpolitik tapi ditujukan untuk bacaan di sekolah.

Penjelasan dari Maskar Gandasudirdja: “Peribahasa-peribahasa itu tjoraknja singkat dan zakelijk, lagi pula mempunjai pengaruh besar terhadap para pendengar, djika dipakainja pada waktu dan tempat jang tepat, apalagi djika diutjapkan dengan perasaan jang penuh pendidikan dan kebudajaan.” Pada abad XX, orang-orang Indonesia masih hidup bersama peribahasa. Mereka mengetahui hikmah dan tata nilai kehidupan dengan peribahasa, menjauh dari slogan-slogan picisan di politik dan hiburan. Peribahan demi menjadi manusia beradab. Mengapa untuk mendapat peribahasa mesti di sekolah? Kita menduga peribahasa berhenti di dalam kelas atau di halaman sekolah. Peribahasa tak bepergian lagi, mengembara ke kota dan desa. Peribahasa tak menjumpai kita di jalan, pusat perbelanjaan, gedung bisokop, kafe, pasar, dan pantai. Ia berhenti lama.

Di halaman 18, kita membaca peribahasa nomor 114: “Lepas bantal berganti tikar.” Peribahasa itu jarang disampaikan di SD atau SMP masa 1980-an di Jawa. Bantal dan tikar ada di rumah, belum tentu ada kasur dan guling. Arti peribahasa sangat mengejutkan: “Karena isterinja telah meninggal, maka orang laki-laki itu kawin dengan saudara atau keluarga dari isterinja jang telah wafat itu.” Bantal dan tikar mengarah ke pengertian perempuan atau istri. Lelaki selalu beruntung, tetap saja memiliki istri. Umpama tak indah. Siapa membuat peribahasa dan mengedarkan ke orang-orang? Peribahasa mungkin bersumber dari adat, tak terlalu mengikuti kehadiran undang-undang perkawinan bercap Orde Baru atau mengikuti isu-isu mutakhir.

Peribahasa membingungkan terdapat di halaman 55. Peribahasa nomor 423: “Dapat kopi pahit.” Peribahasa mungkin tercipta di kedai atau warung. Si pembuat peribahasa bermusuhan dengan gula. Pada saat membuat peribahasa, harga gula sedang mahal. Arti peribahasa: “Dapat tegoran jang pedas dari kepalanja.” Kopi pahit tapi berarti pedas. Peribahasa itu tak berlaku bagi Rangga dan Cinta saat malam datang ke kedai kopi. Malam terasa manis dan menggairahkan. Dua sejoli berbagi pandangan mata, perasaan, dan cerita. Kenangan pahit ingin berlalu. Mereka mustahil pernah belajar peribahasa tentang kopi. Di Jogjakarta, Rangga dan Cinta tak bertemu Joko Pinurbo, pujangga berkopi dengan sedikit gula. Minuman itu menjadi buku puisi Surat Kopi, puisi tak pernah diucapkan Rangga. Begitu.

Peribahasa

 

Cengkeh, Berlimpah Uang

Alkisah, anak raja pernah panen uang akibat berbisnis cengkeh. Orang sekerajaan menuduh ia melakukan monopoli. Protes dan kritik tak digubris. Raja cuma mesem saja. Cengkeh terlalu menggiurkan bagi pemanen uang. Raja pernah memiliki biografi berasal dari keluarga petani. Pemanen uang dari cengkeh itu tak pernah berkeringat sebagai petani. Ia pebisnis tenar. Uang sulit habis. Di kerajaan bercap Baru, cengkeh membuat cerita terburuk bagi kemuliaan petani. Keberlimpahan milik pengusaha berasal dari keluarga raja. Kita tentu tahu nama si pemanen uang. Siapa?

Masa itu telah berlalu. Kita membaca saja cuilan cerita cengkeh di buku Hikayat Kretek (2015). Buku garapan Onghokham dan Amen Budiman diterbitkan ulang oleh KPG. Penjelasan daun tembakau terasa memukau ketimbang cengkeh. Mereka ingin berbagi sejarah kretek meski tak cerewet menulis cengkeh dalam puluhan halaman. Kretek tanpa cengkeh jadi fiktif. Kita mendingan belajar dari buku lawas saja.

Pada 1970, terbit buku berjudul Tjengkeh garapan Prof Dr Ir Tojib Hadiwidjaja. Beliau itu ilmuwan, tak sopan dipanggil Bang Tojib. Kita panggil Pak Hadi agar terhindar dari imajinasi picisan dalam lagu amburadul. Buku diterbitkan oleh Yasaguna, Jakarta. Tebal 40 halaman. Buku tipis berisi penjelasan penting dan foto-foto. Apa itu cengkeh? Pak Hadi menerangkan: “Penggunaan cengkeh telah dikenal orang sedjak lebih dari 2000 tahun, mula-mula dalam tatatjara-tatatjara keagamaan (India), pernikahan (Iran), pemeliharaan gigi, kemudian dipergunakan sebagai rempah-rempah, sebagai bahan periang dalam rokok-kretek (Indonesia) dan makansirih (India, Indonesia), dalam industri parfum/obat-obatan dan untuk pembuatan paneli (vanillin).” Cengkeh seribu khasiat. Dunia tanpa cengkeh pasti lesu, murung, dan cengeng,

Dulu, Indonesia pernah jadi penghasil cengkeh terbesar di dunia. Cerita itu cepat berganti. Sejak orang-orang di Kudus membuat kretek, Indonesia jadi pembeli cengkeh dari pelbagai negeri. Indonesia lapar cengkeh. Kita simak saja laporan Pak Hadi: “Dengan timbulnja perusahaan rokok kretek pada permulaan abad ke-20, terutama sedjak 1921, Indonesia berobah kedudukannja dari negara pendjual mendjadi negara pembeli tjengkeh.” Pembeli tentu berlimpah uang. Cengkeh dibeli untuk bisnis fantastis. Lanjutan laporan: “Selama tahun 1928-1933 selain daripada tjengkeh daripada tjengkeh dalam negeri, masih harus diimpor rata-rata 3.300 ton tjengkeh untuk keperluan perusahaan rokok kretek. Impor tjengkeh selama tahun 1935 s/d 1939 telah meningkat berturut-turut: 4.350, 5.416, 4.410, 5.703, dan 8.659.” Jumlah perokok di Indonesia pasti ratusan ribu. Mereka berasap setiap saat membuat impor cengkeh tak pernah putus.

Di Indonesia, daerah bersejarah dalam penanaman cengkeh adalah Maluku. Dulu, menanam cengkeh tak mudah. Penanaman memperhitungkan pelbagai hal. Pak Hadi mengutip pujian dari ratusan tahun silam oleh Rhumpius: “Bahwa Tuhan Jang Maha Bidjaksana dalam memberikan kekajaan kepada tiap-tiap negara, telah memperuntukkan tanaman tjengkeh chusus bagi daerah kepulauan Maluku.” Pujian itu sempat jadi sejenis kebenaran tanpa bantahan. Tahun demi tahun berlalu. Pak Hadi mulai ragu atas omongan Rhumpius. Pendapat Pak Hadi: “Tjengkeh dapat ditanam diluar kepulauan Maluku, asal sjarat-sjarat mengenai tanah, iklim, dan tjara pemeliharaannja dapat dipenuhi.” Cengkeh memang sejarah boleh dibantah. Begitu.

Tjengkeh

Pekarangan: Mata dan Rezeki

Pada 18 Mei Mei 2016, tiga koran memberitakan sayur. Di Solopos, berita keinginan warga menanam sayur di pinggir jalan kampung. Di Kompas, suami-istri mengajak warga menanam sayur di lahan pinggiran hutan. Di Media Indonesia, mimpi menanam sayur seperti di film The Martian bakal mungkin terwujud. Pilihan tempat menanam: jalan, pinggir hutan, dan Mars. Tiga berita agak mengejutkan bagi pembaca. Dulu, orang menanam sayur di sawah, kebun, atau pekarangan. Kini, orang-orang sulit mencari lahan menanam sayur.

Kita lupakan sejenak sayur. Kita memilih buah untuk mengenang masa lalu saat orang-orang memberi arti pada pekarangan. Sutan Sanif menggarap buku serial “Kuntji Tani” edisi 7 berjudul Pekarangan. Buku diterbitkan oleh Balai Pustaka, 1952. Cetakan ketiga. Pemikiran di balik penulisan buku: “Mari kita masuki suatu kota jang besar. Sambil berdjalan kita perhatikan rumah-rumah ketjil jang ada dikota itu. Kebanjakan diantaranja boleh dikatakan tak berpekarangan. Hal itu bukanlah suatu rahasia lagi bagi kita.” Pemandangan berbeda di rumah-rumah besar. Pekarangan ada tapi cuma ditanami rumput, pohon pelindung, dan bunga. Maksud pemilik rumah: “Tanam-tanaman itu adalah bagiku untuk penjedapkan pemandangan.” Pekarangan memanjakan mata, tak perlu menghasilkan pangan atau rezeki.

Sutan Sanif ingin pembaca belajar lagi faedah pekarangan. Pekarangan bisa menjadi lahan menanam pelbagai jenis buah. Saran Sutan Sanif agar kita menanam pohon mangga, durian, nangka, manggis, rambutan, jeruk, salak, duku, dan pisang. Tanaman edisi berat juga bisa diadakan di pekarangan: ubi jalar, ketela, dan talas. Ibu-ibu diajak menanam pelbagai jenis tanaman obat-obatan. Pekarangan itu bakal bergelimang makna. Mata memandang dengan kesejukan. Faedah-faedah pun bisa dinikmati untuk pemenuhan kebutuhan keluarga dan menghasilkan rezeki.

Bujukan Sutan Sanif: “Berapakah kira-kira hasil pekarangan itu sama sekali? Mendjawab pertanjaan itu tak mudah, oleh karena hanja pada satu dua daerah ada pemeriksaan jang teliti terhadap hal itu. Perlu kiranja kita ketahui, bahwa pekarangan jang ditanami baik-baik dan diselenggarakan dengan saksama, hasilnja djauh lebih banjak djika dibandingkan dengan hasil sawah.” Kita tak tahu Sutan Sanif menggunakan hitungan di kertas atau kalkulator. Pekarangan mengalahkan sawah?
Pekarangan itu kehormatan orang-orang di desa. Rumah berpekarangan tentu mengabarkan adab bertanam masih berlaku. Di kota-kota, mimpi memiliki rumah jadi sulit. Mimpi memiliki rumah berpekarangan? Mereka gampang saja membeli buah di pasar, toko, atau pusat berbelanjaan. Buah tak ada di pekarangan. Di apartemen atau rumah susun, pekarangan berisi tanaman tentu fiksi abad XXI. Kemauan tetap berpekarangan bisa dipenuhi dengan membaca puisi-puisi gubahan para pujangga “desa.”
Di akhir penjelasan cara menanam, merawat, dan memanen, Sutan Sanif memberi simpulan: “Pekarangan jang ditanami dan terpelihara baik-baik, boleh dikatakan, segenap hari memberi hasil. Tidak hanja hasilnja terpakai untuk keperluan rumah tangga, tetapi umumnja berlebih. Kelebihan itu tiap-tiap pekan bisa dibawa kepasar.” Kita terharu atas keseriusan Sutan Sanif memikirkan pekarangan. Buku itu warisan penting meski Sutan Sanif bakal bersedih saat melakukan perjalanan ke kota-kota di Indonesia. Pekarangan hampir fiksi. Begitu.

Pekarangan

Pada Masa Lalu, Indonesia Harus Makan

“Chung Hwa Fa Lu Tse Hui (Perkumpulan Ahli Hukum Golongan Turunan Tionghoa) merasa girang telah dapat membantu penerbitan buku ini… Tiap-tiap usaha jang dapat mendjadi berfaedah bagi pengetahuan hukum di negeri ini, harus dibantu, biarpun djika usaha itu djuga datang dari kalangan sendiri seperti dengan penerbitan buku ini, penerbitan mana telah dilakukan dengan pekerdjaan bersama-sama antara ahli-ahli hukum Indonesia, Belanda dan golongan turunan Tionghoa.” Kalimat-kalimat di halaman pendahuluan oleh Pengurus Chung Hwa Fa Lu Tse Hui di buku berjudul Undang-Undang Negara Republik Indonesia. Buku disusun oleh Mr H Aa, diterbitkan oleh Neijenhuis & Co NV, Jakarta-Bandung, 1950.

Pengumpulan dan penerbitan undang-undang berwujud buku memastikan Indonesia itu negara hukum. Sebutan itu gencar beredar di Jakarta dan media sosial oleh HMI. Saut Situmorang diharuskan minta maaf pada HMI akibat omongan di acara televisi. Pengucapan permintaan maaf sudah diberikan meski sekian tokoh di HMI tetap menempuh jalur hukum. Slogan negara hukum pun muncul. Kita tak wajib mengikuti urusan pelik antara Saut Situmorang dan HMI. Kita bergerak ke masa lalu saat para ahli hukum “bersekutu” dalam dokumentasi dan publikasi undang-undang. Penerbitan buku untuk sumber belajar publik.

Pada 24 Oktober 1945, Mohammad Hatta menandatangani Makloemat Pemerintah tentang Soal Makanan Rakjat. Indonesia telah merdeka. Makanan jadi urusan pokok agar bangsa merdeka tak kelaparan. Indonesia harus makan! Di urutan pertama: “Salah satoe sjarat oentoek mendjaga keamanan dan ketenteraman dalam negeri, ialah mendjamin soepaja pengangkoetan dan pengiriman bahan makanan dari satoe daerah ke lain daerah bisa teroes berdjalan dengan sebaik-baiknja.” Merdeka tanpa makan berkonsekuensi lapar, sakit, dan lungkrah. Indonesia harus sehat, kuat, dan mulia. Makanan termasuk urusan terpenting.

Penjelasan lanjutan oleh Menteri Penerangan Mr Amir Sjarifoedin: “Sebagai penoetoep perloelah djoega kami terangkan, bahwa dari pemoeka bangsa Tiong Hwa jang bergaboeng dalam gaboengan-gaboengan penggilingan beras, pemerintah telah mendapat djaminan bahwa mereka menjokong organisasi Pemerintah Repoeblik Indonesia tentang pengawasan makanan rakjat dengan sepenoeh tenaga dan keicahlasan hati.” Pemuatan tentang makanan ada di halaman 60-64.

Indonesia masa lalu, Indonesia dengan luka-luka akibat kolonialisme. Sawah-sawah tak mencukupi kebutuhan pangan. Bisnis beras memang menggiurkan sejak ratusan tahun silam tapi tak jua membuat jutaan perut orang bebas dari lapar. Beras itu sengketa politik, ekonomi, identitas, dan teknologi. Pembuatan maklumat setelah Indonesia merdeka mengingatkan pembaca pada derajat revolusi Indonesia dipengaruhi makanan. Kita telah terbiasa mengenang revolusi itu bambu runcing, bedil, bendera, lagu, dan pidato. Makanan pun menggerakkan revolusi.

Buku Undang-Undang Negara Republik Indonesia jilid I tak cuma memuat tentang makanan. Kita bisa membaca masalah gaji pembesar, agama, uang, partai politik, kabinet, tentara, dan rumah. Undang-undang, peraturan, penetapan, maklumat, dan pengumuman penting pada masa awal Indonesia tegak sebagai negara merdeka dimuat dalam buku. Sejarah tertulis dengan bahasa Indonesia masih menggunakan ejaan warisan sarjana kolonial. Kita membaca buku jangan seperti membaca puisi, cerita pendek, dan novel. Teks-teks itu digarap tak meniru “ritual” Chairil Anwar, Usmar Ismail, Idrus, dan Asrul Sani. Begitu.

Undang-Undang

Burung dan Kamus

Indonesia terlalu lama “diperintah” oleh bahasa Belanda demi kemapanan kolonialisme. Bahasa itu membujuk pribumi agar menjadi modern. Di sekolah-sekolah, bahasa Belanda diajarkan. Para penggerak bangsa pun mengerti bahasa Belanda untuk melawan. Pada masa 1930-an, pesona bahasa Belanda mendapat saingan bahasa Inggris. Para pemuka dan intelektual Indonesia mulai belajar bahasa Inggris. Hatta dan Sjahrir jadi penganjur agar kaum muda bisa berbahasa Inggris. Penerbitan buku dan kamus mulai meriah. Orang-orang berbeda suku bangsa mengikuti kursus bahasa Inggris. Bahasa itu pernah singgah ke Indonesia bersama agenda penjajahan, sejenak saja pada abad XIX.

Pada 1931, terbit The Standard English-Malay Dictionary susunan Pouw Peng Hong. Kamus diterbitkan oleh The Chinese & English Book Company, Batavia. Tebal 606 halaman. Kamus penting dan langka. Kini, kamus itu bisa berharga jutaan rupiah jika ada kolektor ingin memiliki dan dibisukan di lemari. Pouw Pen Hong menerangkan: “Kitab inipoen mengandoeng maksoed ‘soepaja bisa memboenoeh doea boeroeng dengen satoe batoe’, jaitoe kitab ini diatoer bagitoe roepa hingga moerid-moerid sekolah jang beladjar Inggris, atawa orang-orang jang berbahasa Inggris tapi ingin beladjar Melajoe, bisa pergoenaken dengen tjara jang sanget menggampangken tapi mendapet faeda jang tiada sedikit.” Berimajinasilah melampari burung dengan batu untuk belajar bahasa berbekal kamus. Ibarat itu jahat! Kasihan nasib-nasib burung. Mereka mati demi para penggandrung bahasa Inggris.

Di Indonesia, bahasa Inggris berumah di kamus turut mempengaruhi cara berpolitik. Para penggerak bangsa berlagak fasih bahasa Inggris. Barangkali kita masih ingat ungkapan-ungkapan “koridor demokrasi”, “aspirasi”, “korupsi”, dan “komunis”. Di halaman 96, corridor berarti “Loeroeng dalem roemah, serambi dalem roemah, galerij.” Urutan di bawah ada corruption berarti “kaboesoekan, kakedjian, kenadjisan, kaboeroekan.” Di pelbagai pidato dan tulisan, para politisi dan pengamat sampai sekarang masih berlagak puitis dengan ungkapan “koridor demokrasi.” Korupsi tak usah diributkan lagi dalam kebahasaan. Istilah itu terlalu membikin sakit, marah, dan muntah.

Apakah para pembaca The Standard English-Malay Dictionary berlaku angkuh saat menggunakan dalam pelbagai perbuatan? Mata kita bisa rusak jika tak waspada saat membaca papan-papan di pintu atau depan toko. Para pemilik toko di desa dan kota tampak sombong dan sumber petaka bagi kelaziman adab di Indonesia. Mereka memilih menggunakan tulisan open dan close. Di halaman 315, open berarti “boeka”. Kata itu terlalu terkenal di Indonesia, dari Jakarta sampai pelosok desa. Gawat! Bersumber arti di kamus, para pemilik toko melukai mata berbahasa Indonesia. Aduh!

Kegandrungan berbahasa Inggris mulai muncul lagi saat orang-orang tampil di FB. Mereka mencintai “share” ketimbang “Sari”. Orang biasa menulis komentar menggunakan istilah “share”. Istilah itu mungkin mustahil diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Di kalangan sastra atau peminat ilmu, mereka berkumpul sambil berucap: “Kita sharing saja.” Di dapur, saringan digunakan untuk membuat minuman teh. Di halaman 461, share berarti “bagiken” atau “bagi”. Dulu, Pouw Peng Hong sudah berusaha menerjemahkan ke bahasa “Melajoe.” Terjemahan itu dibunuh ribuan orang tanpa doa dan penguburan ditaburi bunga. Begitu.

Kamus Bahasa Inggris