Pangan, Dom, Toko

Orang hidup di dunia bertugas sebagai pembaca. Siapa tak mau jadi pembaca? Orang seperti itu tetap hidup meski tak putus dirundung bebal. Siapa takut membaca? Orang itu bakal masuk ke neraka kebodohan. Siapa girang membaca? Orang itu dilarang untuk dihinakan meski jelek, miskin, dan pemilik panu-kadas-kudis-kurap. Pembaca anggaplah orang menunaikan janji hidup agar tak sia-sia. Konon, hidup cuma sekali tapi pantas digunakan membaca ribuan buku, sebelum mata terpejam dalam damai.

Pada 1954, penerbit Soeroengan (Jakarta) mengeluarkan buku berjudul Waosan Djawi garapan L Tedjasusastra. Gambar-gambar oleh MD Sumarta. Tebal 160 halaman. Waosan itu bacaan. Buku untuk bacaan bocah-bocah. Dulu, bocah tak dibiarkan dolan sepanjang hari. Melamun 12 jam. Tidur ngorok setengah hari. Belajar di sekolah dari pagi sampai malam. Hari-hari mereka memiliki arti dengan bacaan. Di Jawa, bocah-bocah itu mendapat menu bacaan berbahasa Jawa. Tedjasusastra menerangkan: “Menggah isi tuwin dapukanipun sasaged-saged sampun katata lan kalaresaken kalijan djaman lan kwontenan punika.” Sejak dulu sampai sekarang, “zaman” dijadikan patokan. Zaman ingin menangan.

Di halaman 31, bacaan berisi penjelasan-penjelasan tentang pangan. Kita telanjur meremehkan dan lupa ilmu pangan setelah jadi pembeli paling bernafsu untuk jenis-jenis olahan, sajian, dan kemasan pangan mutakhir bercap “internasional.” Pengertian agak terpendam dalam ingatan. Tedjasusastra menulis: “Wong mangan (madang) wajah esuk diarani sarapan, wajah sore diarani kanggo mantjal kemul, lah bareng madang wajah awan apa jenenge? Apa anten krama? Lumrahe wong madang sedina ping telu, esuk, awan, sore, lumrahe sing akeh dewe jen awan.” Penjadwalan dan jenis makanan mulai jadi bisnis restoran, rumah makan, dan warung. Iklan-iklan mereka menggantikan ilmu pangan dari para leluhur.

Bacaan berisi nasihat bijak ada di halaman 117-120. Bacaan berjudul “Mahasiswa lan Nini-Nini.” Guru bercerita pada murid-murid: “Ana setuden, kesed, wegahan, senengane mung blajangan ora tau mlebu sekolah. Grengseng lan gregete sinau wis ora ana, pangarep-arep wis entek, malah wis mupus arep metu golek pagawean saoleh-olehe.” Wong goblok alias pekok itu mengalami kejadian aneh saat bertemu dengan perempuan tua. Kesadaran perlahan muncul setelah melihat adegan simbah. Mahasiswa itu berkata: “Nuwun, mbah, keparenga njuwun priksa, paku mok dipun asah makaten punika bade kangge punapa.” Jawab lugu dan lugas dari simbah: “O, anu, ngger, bade kula damel dom.” Mahasiswa gumum dan sangsi. Simbah pun mengatakan: “Saged, ngger, uger kanti sabar lan tlatos tur boten wegahan, wani rekaos, mesti saged dados.” Kita biasa mengetahui orang membeli dom memuat tulisan “made in China”. Simbah bukan konsumen semugih. Simbah memilih membuat dom dari paku. Usaha itu membuat mahasiswa malu dan malu.

Di halaman 135-139, cerita berjudul “Tidak Bermuka Ramah Tamah Djangan Membuka Toko”, bertokoh Giok Sing. Cerita berlangsung di Solo. Tokoh itu bekerja keras sejak bocah untuk meraih sukses. Bocah dalam nestapa tapi menjadi orang dagang setelah rajin belajar dan sanggup mewujudkan mimpi indah. Pesan dalam bacaan: “Giok Sing jakin jen wong dagang iku kudu duwe pengalaman, sregep lan wani rekasa. Kadjaba iku kudu prigel lan tjak-tjek bisa nggemeni wektu, apa maneh ora kena ninggal petung.” Nasihat itu berguna bagi orang-orang di Jawa agar berani jadi orang dagang atau bertoko. Begitu.

Waosan Djawi

Tembang Tak Terlarang

Pada masa pendudukan Jepang, tembang tak dilarang. Di Jawa, tembang-tembang masih diajarkan di sekolah. Di rumah, kebun, dan jalan, orang-orang boleh menembang untuk berbagi pelajaran, hiburan, dan kebahagiaan. Tembang Jawa selamat dari tindakan militer Jepang. Tembang tak hancur diinjak sepatu atau dibedil dalam jarak dekat. Orang-orang kelaparan dan menderita. Tembang tetap ada. Baju dan celana langka. Tembang tetap saja ada. Tentara Jepang suka teriak dan membentak. Tembang pun tak kehilangan merdu.

Buku berjudul Tembang Djawa diterbitkan oleh Djawa Gunseikanbu, 2604. Penulisan tahun menuruti kemauan Jepang. Tebal 102 halaman. Buku diadakan “kanggo Sekolah Pertama sarta Sekolah Ra’jat kang basane priboemi basa Djawa.” Misi dari Djawa Gunseikanbu: “Menggah gegajoehanipoen gegaran poenika, soepados lare ingkang sampoen tamat pasinaonanipoen ing Sekolah Ra’jat, kadjawi saged njekar, oegi sageda njinaoe pijambak lelagon prasadja ingkang sampoen dipoen soekani titi laras.” Pada masa lalu, belajar tembang termasuk penting demi biografi dan masa depan bocah. Di sekolah, tembang jadi sisi lain dari keseriusan belajar ilmu hitung, ilmu bumi, dan ekonomi. Pelajaran tembang Jawa agak terbebas dari arogansi Jepang. Kita sulit mengimajinasikan pelajaran itu gabungan: struktur tembang Jawa berbahasa Jepang. Bocah bakal mengalami cedera mulut dan kekisruhan perasaan.

Kita menanti saja penjelasan para sarjana Indonesia atau asing mengenai kebijakan Jepang untuk seni tradisional. Mengapa pelajaran tembang Jawa tetap diadakan di sekolah-sekolah? Apakah tembang bisa digunakan dalam propaganda politik? Kita pun mesti membuka lagi biografi para seniman Jawa pada masa pendudukan Jepang. Apakah mereka menghamba ke Jepang atau memiliki kehormatan dalam berseni dan memiliki sikap politik? Tembang bukan perkara sepele. Tembang di Jawa membentuk kepribadian dan mengiringi bocah-bocah dalam melakoni-mengartikan hidup, dari masa ke masa.

Kita simak lirik tembang kondang di Jawa berjudul “Njata Kowe Wasis.” Pada masa 1980-an dan 1990-an, tembang itu masih diajarkan di SD. Soeharto tak pernah melarang bocah-bocah belajar tembang Jawa. Soeharto mungkin malu melarang jika ingat masa lalu sebagai bocah desa. Lirik sederhana: Njata kowe wasis, sis/ Bedeken sing gelis, lis, lis, lis/ Tjangkriman teloe iki/ Djangkrik soengoe selawe/ Batangane apa/ Manoek ndase teloe/ Batangane apa/ Bapak demang, mang/ Klambine abang, bang, bang, bang/ Disoendoek mantoek, mantoek. Apakah tembang itu mungkin diperkenalkan lagi ke bocah-bocah dengan garapan apik oleh Gita Gutawa?

Di halaman 60, pembaca menemukan tembang berjudul “Tanah Djawa.” Tembang menjelaskan dan bercerita: Jekti tan ana madani/ Moeng sawidji poelo loh djinawi/ Kinoebeng ana ing samodra agoeng/ Bebandjengan tengah goenoeng-goenoeng… Bocah bisa mempelajari ilmu bumi melalui tembang. Bocah pun merasa bangga telah lahir dan besar di Jawa. Pujian bagi Tanah Jawa tentu bermaksud melebihkan ketimbang pulau atau negeri seberang. Tembang dengan seribu kepentingan. Tembang itu ada saat masa pendudukan Jepang. Barangkali Jepang ingin ingat Jawa akibat terangsang mendengar tembang-tembang Jawa. Kita mengandaikan militer Jepang duduk manis dan memberi telinga ke tembang-tembang merdu. Mereka lekas berdiri dengan mimpi menguasai Jawa. Bedil di tangan dan mereka berlari kencang. Serbu! Serbu! Serbu! Begitu.

Tembang Djawa

 

Iqbal di Indonesia

Di Indonesia, pembaca tulisan-tulisan Muhammad Iqbal mungkin terus bertambah. Pujangga dan pemikir Islam itu tetap referensi. Pembaca Iqbal tak cuma Bahrum Rangkuti, Hamka, Ali Audah, Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, Dawam Rahardjo, Yudi Latif, S Maarif, Djohan Effendi, dan Gus Dur. Kini, buku-buku Iqbal telah terbit dalam puluhan terjemahan bahasa Indonesia. Pembaca-pembaca baru masuk ke daftar panjang. Mereka mungkin mulai mengenali Iqbal dari puisi atau artikel. Pada 2016, Mizan menerbitkan lagi buku Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam garapan Iqbal. Buku lawas tetap memikat dengan penerjemahan “rasa’ baru, berbeda dengan edisi Bulan Bintang atau Tintamas di masa lalu. Sebelum terbit oleh Mizan, buku itu pernah diadakan dua penerbit di Jogjakarta.

Kapan Iqbal jadi bacaan orang Indonesia? Majalah-majalah lawas tentu sumber melacak kehadiran dan pengaruh Iqbal dalam sastra dan pemikiran Islam di Indonesia. Penerbitan buku-buku terjemahan pun jadi bukti orang-orang gandrung mempelajari Iqbal. Pada 1953 terbit buku berjudul Asrar-i Khudi: Rahasia-Rahasia Pribad, hasil terjemahan Bahrum Rangkuti. Penerjemah itu sastrawan dan polisi. Buku diterbitkan oleh Pustaka Islam, Jakarta. Pada 1967, buku cetak ulang kedua. Pemberi sambutan adalah M Natsir. Beliau berpesan: “Apabila isi dari Asrar-i Khudi dapat dan mau diwujudkan ummat Islam Indonesia, maka benar-benarlah dapat tertjipta baldatun tajjibah wa rabbun ghafuur. Negara baik dan ma’mur, dibawah naungan sifat ampunan Ilahi.”

Bahrum Rangkuti menjelaskan kemauan menerjemahkan Iqbal: “… karena kumpulan sjair-sjair Iqbal ini menundjukkan suatu hal jang berlainan sekali dengan djiwa sadjak-sadjak jang selama ini kita asjiki di Indonesia. Disamping keharuan dan keindahan dalam sjair-sjair Iqbal itu terasa oleh kita bahwa dia hendak memanggil ummat manusia kepada nilai-nilai kemanusiaan dan kepribadian sebagai termaktub dalam Qur;an dan menjerukan kepada ummat Islam sendiri supaja mendengarkan suara Qur’an kembali.” Buku edisi bahasa Farsi diperoleh Bahrum Rangkuti pada 1950. Kerja penerjemahan ke bahasa Indonesia dibantu oleh Arif Hussein di Kedutaan Pakistan di Jakarta. Bahrum Rangkuti mengakui Asrar-i Khudi adalah “falsafah dan sastera menjatu indah.” Buku itu terus diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan penerjemah berbeda. Hasil terjemahan Bahrum Rangkuti mungkin permulaan.

Kita simak hasil terjemahan puisi Iqbal: Plato, rahib dan sardjana purba/ ialah seorang dari kumpulan kambing zaman bahari/ Kuda Pegasusnja kesasar dalam gelita falsafat/ Dan lari mendaki gunung wudjud ini/ Ta’djub-pesona dia oleh jang ideal/ Sehingga didjadikannja kepala, mata dan telinga/ tiada masuk hitungan… Iqbal itu pembaca pemikiran bersumber dari Barat dan Timur. Kritik biasa disampaikan saat mengulas keangkuhan Barat dan keminderan Timur. Kritik itu puitik. Tuduhan lucu ke Plato: “Dia kambing berpakaian manusia.” Kita mendapat humor, tak selalu uraian dan imajinasi serius.

Di Indonesia, pembaca dan “pengikut” Iqbal tak sedikit. Dulu, para pujangga dan intelektual biasa bercakap dan menulis dengan mengutip tulisan-tulisan Iqbal. Kejadian mutakhir di dunia pun biasa dijelaskan menggunakan ketokohan dan pemikiran Iqbal untuk mengadakan renungan. Iqbal tetap belum selesai dibaca di Indonesia. Kita bisa membuat bibliografi Iqbal di Indonesia, bersumber koran, majalah, dan buku. Daftar tentu panjang. Begitu.

Iqbal

 

Orang Bermutu Internasional

Penggunaan bahasa-bahasa asing adalah modal untuk raihan taraf internasional. Hotel, mal, toko, apartemen, dan perumahan sering dinamakan dengan bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Di kampus, mahasiswa, dosen, dan pejabat di rektorat bersekongkol mengadakan acara seminar internasional atau acara-acara kecil tapi berjudul bahasa Inggris. Artis-artis ingin mendapat pengakuan internasional dengan pentas di negeri tetangga atau membuat lagu berlirik bahasa Inggris. Lirik berbahasa Inggris gampang mengantar mereka bermimpi internasional ketimbang membuat lirik berbahasa Arab. Orang mengira si artis tak sedang melantunkan lagu tapi dzikir atau doa. Menu di rumah makan pun dipaksa harus berkelas internasional melalui penamaan aneh-aneh. Semua itu internasional!

Pada 1956, terbit Kamus Internasional susunan Osman Raliby. Tebal 450 halaman. Kamus diterbitkan oleh Bulan Bintang, Jakarta. Nama penerbit tak diterjemahkan ke bahasa Inggris jika ingin dianggap penerbit buku internasional. Nama penggarap kamus pun terkesan tak internasional. Beliau orang Indonesia. Kamus berisi lema-lema dari pelbagai bahasa asing. Tugas Osman adalah mengartikan ke bahasa Indonesia. Dulu, kamus itu mungkin incaran ribuan orang agar mengerti internasional. Pemilik kamus tentu merasa keren sambil mengandaikan diri adalah orang bermerek internasional. Mulut fasih cas-cis-cus mengucap istilah-istilah dari pelbagai bahasa asing. Berbahagialah memiliki mulut bermutu internasional!

Osman menulis: “… harapan saja jang sangat semoga besarlah paedah Kamus Internasional ini bagi segala golongan rakjat Indonesia, terutama para pemuda/peladjar dan mahasiswa angkatan baru jang tiada pernah atau kurang tjukup mengetahui kata-kata asing itu.” Barangkali kemauan semakin menjadi asing, orang semakin internasional. Kebutuhan menjadi asing bermodal ratusan istilah asing berbahasa Latin, Inggris, Perancis, Jerman, Italia, dan Rusia.

Di halaman 85, city berarti “kota besar atau penting.” Di Indonesia, pemerintah, perusahaan, dan komunitas mengadakan acara-acara enggan mencantumkan kota. Mereka memilih city agar terkesan internasional. Di pinggir jalan, kita biasa melihat ada warung, kios, dan toko. Nama-nama mulai berbahasa asing agar usaha memberi untung besar. Istilah warung, kios, dan toko berasal dari bahasa berbeda. Di halaman 285, Osman menulis lema kiosk berarti “lepau dipinggir djalan dimana orang mendjual koran, minuman dan lain-lain.” Istilah itu berasal dari “Perancis dari Tukri dari Persia.” Di halaman 395, reunie berarti “keadaan berkumpul kembali” atau “pertemuan ramah-tamah.” Setelah Lebaran, istilah itu laris digunakan oleh orang-orang untuk berkumpul dengan teman-teman saat SD, SMP, SMA. Orang mau ikut reuni agar merasa internasional. Istilah itu berasal dari bahasa Perancis.

Obsesi menjadi asing berlangsung di Indonesia. Usaha untuk keberhasilan menjadi “orang asing” dilakukan sejak bocah. Nama makanan, acara di televisi, merek pelbagai barang, dan lomba-lomba memilih berbahasa asing ketimbang bahasa daerah atau Indonesia. Pada saat orang-orang bersekolah, berkuliah, dan bekerja keputusan menjadi “orang asing” semakin mudah diwujudkan andai mau bermulut dan bertelinga internasional. Osman telah mewariskan Kamus Internasional meski kita membaca dengan malu. Kini, kamus harus lebih gemuk. Begitu.

Kamus Internasional-1

Bahasa Terkapar di Jalan Tol

“Berhubung dengan peralihan masa, jang disebabkan oleh kebangunan Timur, bertambah banjaklah putera dan puteri tanah air jang sadar, jang insaf, bahwa menjtintai Bahasa Ibu Pertiwi itu adalah bahagia jang sangat besar, bukan sadja bagi pribadi, tetapi terutama kepada nusa dan bangsa,” sambutan Madong Lubis (1948) di buku berjudul Seluk-Beluk Bahasa Indonesia garapan Sabaruddin Ahmad. Buku diterbitkan oleh Saiful, Medan. Pada 1950, buku telah mengalami cetak ulang keempat. Buku laris di Sumatra, Jawa, dan Sulawesi. Buku itu pernah mendapat “resensi jang memuaskah djuga dari Radio Makassar.” Buku berhasil diresensi di depan corong radio. Sip!

Kita perhatikan penjelasan tingkatan bahasa. Pembaca jangan tertawa. Bacalah dengan serius! Sabaruddin Ahmad membagi tiga tingkatan bahasa Melaju: (1) bahasa rumah tangga; (2) bahasa pelabuhan atau bahasa pasar; (3) bahasa Melaju tjerdas. Penikmat sejarah bahasa mungkin mesem mengingat cap-cap bahasa Melaju. Dulu, orang memberi sebutan “Melajoe Djalanan” dan “Melajoe Pasar.” Sebutan bertambah: “Melaju Pelabuhan”. Bahasa ditentukan tempat: rumah, sekolah, jalan, pasar, pelabuhan, dan kantor.

Sekarang, orang meniru memberi cap pada bahasa Indonesia: “Bahasa Indonesia Televisi”, “Bahasa Indonesia Istana”, “Bahasa Indonesia Mal”, “Bahasa Indonesia Galeri”, “Bahasa Indonesia Kampus”, “Bahasa Indonesia Studio.” Para peminta seni rupa boleh memikirkan cap “Bahasa Indonesia Galeri.” Pemberian judul lukisan atau pameran seni rupa sengaja tak cinta bahasa Indonesia. Bahasa Inggris terlalu menguasai meski para pelukis, kurator, dan penikmat lahir dan besar di Indonesia. Bahasa Indonesia jadi sisipan atau “pantas-pantas” saja. Pembaca bisa mengikuti polemik seni rupa di Jawa Pos edisi 10 dan 17 Juli 2016. Polemik bermula dari judul lukisan Sudjojono. Judul berbahasa Indonesia dan berbahasa Inggris. Dua penulis tak tahu judul lukisan itu pernah diterjemahkan ke bahasa Jawa.

Sejarah dan perkembangan bahasa Indonesia melewati tempat-tempat. Pada masa kemerdekaan, bahasa Indonesia masih berada di jalan. Dulu, Sutan Mohammad Zain menulis buku Djalan Bahasa Indonesia. Jalan selalu bercerita bahasa: Melajoe dan Indonesia. Renungan-renungan menghasilkan saran. Sabaruddin Ahmad menulis: “Bagi mereka jang berfaham demikian, jakni mengatakan, bahwa bahasa Indonesia itu tidak perlu mengikuti djalan bahasa Melaju sama sekali, mereka akan menulis dan berkata dalam bahasa Indonesia dengan sebebas-bebasnja menurut inginnja sambil tidak lupa memasukkan resep baru dengan kata-kata dan aturan bahasanja sendiri.” Saran dipengaruhi oleh pembacaan teks-teks sastra modern di Indonesia. Para pengarang ingin bahasa Indonesia gagah, bahenol, cantik, segar, dan merdu.

Buku Seluk-Beluk Bahasa Indonesia pernah jadi bacaan bermutu bagi para pelajar, mahasiswa, pengarang, dan wartawan. Buku terbitan Medan. Apakah kita berhasil menemukan judul buku itu di halaman daftar pustaka dalam makalah, skripsi, atau disertasi? Orang-orang tega meninggalkan buku itu di jalan gelap dan becek. Buku ditinggal jauh di belakang, tak pernah diajak sampai ke abad XXI. Kini, orang-orang berbahasa di jalan tol. Bahasa berjalan cepat, melaju ke depan searah, tak mau balik ke belakang. Jalan itu membuat bahasa Indonesia terluka dan terkapar mampus dalam kecelakaan. Bahasa Indonesia kadang macet dan disingkirkan dari jalan tol oleh mobil derek. Begitu.

Seluk Beluk

Kota dan Sastra

Sejak masa 1930-an, kota-kota di Indonesia bertarung mendapat pengakuan sebagai kota paling beradab. Kota ingin pamer segala kekhasan agar berada di peringkat teratas dalam perbincangan seni, politik, ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Aoh K Hadimadja sempat mencatat pertarungan itu dalam buku berjudul Beberapa Paham Angkatan ’45, terbitan Tintamas, Jakarta, 1952. Di halaman 27, Aoh K Hadimadja menulis: “Sampai sekarang masih banjak orang-orang di Djokja dan di Solo jang tidak mau mengakui kota-kebudajaan itu sebenarnja Djakarta. Djakarta, jang bertunas dan berkembang terus mentjari djalan-djalan baru, baik dalam bentuk, maupun isi.” Solo dan Jogja bersekutu tak mau mengakui Jakarta dengan tuduhan kota itu telah “dihinggapi ke-Barat-Baratan.” Pertarungan sengit tapi orang-orang dari dua kota bersejarah keraton itu terus berpindah ke Jakarta untuk jadi politikus, saudagar, dan seniman.

Orang-orang Jakarta malah memberi tuduhan ke Medan, bukan ke Jogja atau Solo: “… maka Medan itu dangkal, tjepat puas oleh karena sukses jang didapat terdjual bukunja jang terserak keseluruh kepualauan. Medan telanjur dicap kota roman picisan, kota tak bersastra serius. Medan ingin mulia dan cakep? Aoh K Hadimadja memberi saran: “… hentikanlah roman-pitjisan dan mulailah menulis roman jang bermutu, jang mempunjai tindjauan-tindjauan hidup jang telah masak dipeladjari.” Dulu, sastra menjadi penentu mutu kota. Jakarta, kota paling sombong dalam sejarah dan perkembangan sastra. Sombong masih berlaku sampai sekarang. Sombong sepanjang masa.

Di Jakarta, pembuat “sombong” itu bernama Chairil Anwar. Konon, Chairil Anwar pemilik Jakarta, pemilik Indonesia, pemilik dunia. Segala dimiliki dengan puisi-puisi dan pidato di radio. Pujangga miskin tapi berlimpahan imajinasi. Puisi demi puisi membikin onar kaum sastra di Jakarta. Aoh K Hadimadja memuji: “Deru Tjampur Debu ialah kumpulan pukulan dan tangkisan Chairil, kisah pertempuran manusia dalam abad mesin jang tidak ada pertimbangan sesuatu antara sesama manusia, akan tetapi semua berdjalan atas kepentingan sendiri dibalik topeng bordjuis, rumah jang teratur rapi, pakaian jang perlente, djabat tangan menurut aturan.” Jakarta tanpa Chairil mungkin tak berderu dan berdebu.

Kota-kota bergerak dengan sastra. Masa penjajahan masih memungkinkan orang-orang menulis sastra. Percetakan dan penerbit mengadakan majalah dan buku. Bacaan disuguhkan ke publik melalui toko buku dan bibliotik. Sastra membuat kota-kota bergelimang cerita. Aoh K Hadimadja mau mencatat meski pendek. Di buku, surat-surat, dan teks ceramah mulai berurusan paham bersastra dan tanggapan situasi politik di Indonesia, setelah proklamasi. Pembaca melintasi halaman demi halaman untuk nostalgia ketokohan dan seribu masalah sastra di Indonesia.

Di halaman 137, pengagungan Angkatan ’45 ingin dilanjutkan bermaksud membesarkan sastra di kota-kota, tak melulu di Jakarta. Pilihan melanjutkan bermodal senang. Penjelasan Aoh K Hadimadja: “Dalam pengertian sekarang ‘senang’ ialah kalau tenaga dan pikiran penuh ditumpahkan kepada objek tjita-tjita, tjita-tjita jang tidak akan ditjapai-tjapainja, tetapi penuh keriangan dapat mengerdjakannja.” Senang itu paham terpenting saat sastra tak mau mampus oleh kisruh politik dan ekonomi amburadul. Kota-kota tetap ingin beradab. Kota bergelimang sastra ketimbang bergelimang petaka. Begitu.

Angkatan 45

Pancasila Terus Terang

Sejak puluhan tahun, Yudi Latif rajin menulis esai-esai di koran dan majalah. Esai-esai pelbagai tema. Julukan terkeren bagi Yudi Latif adalah pemikir kenegaraan dan kebangsaan. Yudi Latif pantas jadi tokoh idaman di kalangan intelektual muda. Buku-buku pun sudah terbit berkaitan Islam, sastra, sosiologi, dan Pancasila. Kini, Yudi Latif masih rajin menulis esai dan buku. Tema terbesar dan terpenting adalah Pancasila. Pembaca biasa membaca pelbagai esai meski “dipaksakan” berhubungan Pancasila. Barangkali Pancasila itu fondasi literasi saat Yudi Latif memberi uraian tentang politik, korupsi, pendidikan, sejarah, dan Idul Fitri. Segala urusan direferensikan ke Pancasila. Ingat Yudi Latif, ingat Notonegoro, pemikir Pancasila di masa lalu.

Kita belum ingin mengenang Notogenoro tapi Margono. Pada 1958, terbit buku berjudul Pedoman Hidup: Ilmu Budi Pekerti Menurut Asas-Asas Pantjasila. Buku berukuran saku. Tebal 200 halaman. Buku diterbitkan oleh Mardi Pustaka, Jakarta. Buku itu laris, mengalami cetak ulang dan dicetak dalam jumlah ribuan. Keterangan penerbit: “Meskipun buku Pedoman Hidup setjara resmi belum dipakai di sekolah-sekolah negeri, namun telah dapat dipergunakan oleh 15.000 pemuda-pemudi. Demikian Pedoman Hidup beredar dikalangan sekolah-sekolah menengah dan menolong kepada kusuma bangsa kita untuk mengatur hidupnja.”

Buku itu berbeda corak dari buku-buku garapan Notonegoro atau Yudi Latif. Margono memilih bentuk percakapan. Pembaca merasa “terlibat” ketimbang menjadi pembaca untuk memikirkan secara serius uraian-uraian mendalam. Argumentasi: “Bentuk tanja-djawab mengesankan tjorak jang agak mendjemukan, namun mengakibatkan djuga pengertian jang terus terang dan bukan kira-kira.” Pancasila memang mesti terus terang, tak perlu dijelaskan menggelap berdalih memakai pendasaran filsafat, politik, atau sejarah. Pembaca diharapkan serius dan sabar saat membaca buku berisi 645 “tanja-djawab.” Apakah mudah membikin lelah dan ketiduran?

Di halaman 92, “tanja-djawab” nomor 329: “Pentingkah mendjadi orang jang berbudi pekerti?” Jawaban terus terang: “Penting, apa lagi mendjadi orang jang baik budi pekertinja. Karena orang demikian dapat mengatur hidupnja menurut budi, kebenaran dan kewajiban dan tidak diumbang-ambingkan kesana-kesini baik oleh dorongan hati dari dalam maupun oleh pengaruh dari luar.” Margono cukup memberi jawaban terus terang tanpa melakukan pengutipan dari buku-buku babon. Pancasila sebagai asas budi pekerti terasa terus terang ketimbang diberatkan oleh Notonegoro dan Yudi Latif dengan mengutip pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh tenar dari negeri-negeri asing dan Indonesia.

Di halaman 145, “tanja-djawab” nomor 532: “Apakah tjinta itu?” Jawaban tak puitis dan romantis: “Kadang-kadang tjinta itu berarti hawa nafsu, dan kadang-kadang berarti kemauan jang rela-bersedia untuk orang lain.” Dulu, orang merasakan cinta dianjurkan berlandaskan Pancasila. Cinta bercap Pancasila tentu membuat orang-orang Indonesia berbahagia. Cinta mengandung lima sila, mulai ketuhanan sampai keadilan sosial. Cinta itu ideal dan sempurna. Pancasila sah jadi referensi cinta. Kita mengangankan ada program-program pemerintah untuk menguatkan kesadaran Pancasila melalui penjelasan-penjelasan ngepop. Urusan cinta di buku garapan Margono itu terasa penting banget jika dibandingkan dengan materi-materi dalam Penataran P-4 di masa lalu. Begitu.

Pedoman Hidup

Teh, Lampu, Bintang

Liburan itu pelesiran. Ribuan orang bergerak, pergi dari rumah menuju pantai, gua, pegunungan, dan kebun binatang. Para penonton televisi pasti bosan banget melihat mobil-mobil berderet panjang di jalan dalam drama macet. Berita liburan di Puncak selalu macet. Polisi belum memiliki rumus ajaib. Wartawan selalu mendapat berita sama. Kita lekas prihatin memikirkan ambisi orang-orang bermobil untuk menikmati liburan. Pelesiran itu macet dan boros.

Kita tak usah sedih hari ini. Tengoklah ke masa lalu. RO Simatupang menggarap buku berjudul Pedoman Tamasja Djawa Barat, diterbitkan oleh Kng Po, Jakarta. Buku itu jauh dari sedih bercap pelesiran abad XXI. Konon, pelancong memerlukan pedoman agar tak tersesat dalam pelesiran. Buku pedoman mengandung informasi tentang jalan, rumah makan, hotel, toko oleh-oleh, dan jenis hiburan. Pelancong tanpa buku pedoman bakal jadi manusia bingung, gampang resah, dan ragu.

Siapa mau ke Pasundan? RO Simatupang berbagi informasi-informasi penting. Pembaca di masa lalu membaca buku sebelum menentukan pilihan tempat piknik. Membaca buku seperti belajar untuk mencapai kesenangan, kepuasan, dan kebahagiaan. Buku tak digunakan untuk bekal ujian, mendapat nilai dan lulus. Bacalah buku, bergeraklah ke Pasundan. Kita pilih dulu tempat bernama Bukit Dago. Informasi dari RO Simatupang: “Didataran jang luas dari bukit Dago terdapat rumah teh Dago jang lebih terkenal dengan nama Dago Theehuis, dimana sambil makan-minum anda menikmati pemandangan atas kota Bandung dari beberapa djurusan dengan njata. Terutama kalau bulan terang dan tjuatja bagus, Dago Theehuis jang dikelilingi oleh pohon-pohon, merupakan satu tempat penindjauan dari mana anda dapat melihat lampu-lampu listrik kota Bandung dengan sinarnja jang berkeredepan dan menakdjubkan.” Siapa pernah memikirkan serius bahwa minum teh dan melihat lampu listrki itu pelesiran? Orang tak berduit dan pemalas biasa minum teh di rumah dan malu melihat lampu di rumah.

Tempat incaran murid dan mahasiswa mungkin Bosscha. Para pembaca novel Sang Juragan Teh bisa menata ingatan dan imajinasi mengenai Bosccha. Bermula dari tokoh sampai ke hasrat melihat langit. Dulu, melihat langit itu pelesiran. Kita biasa melihat langit, pagi sampai malam. Melihat tanpa peneropong bintang belum sah dianggap pelesiran. Penjelasan RO Simatupang: “Satu kilometer dari Lembang menudju kedjurusan Bandung, di suatu bukit jang tinggi terdapat tempat peneropong bintang, jang merupakan peneropong satu-satunja untuk Indonesia, jang didirikan atas inisiatip Bosccha.” Tempat itu ramai dikunjungi pada malam Minggu. Jadwal melihat langit dan menggapai bintang sudah ditentukan agar pantas disebut pelesiran akhir pekan.

Buku pedoman itu digunakan pada masa lalu. Kini, segala perubahan sulit memastikan informasi-informasi dalam buku masih bisa digunakan bagi pelancong berbekal gawai. Pelancong memilih mengetahui pelbagai informasi di internet. Buku dianggap kuno. Alat di genggaman tangan sudah bisa memberi seribu penjelasan untuk memuaskan pelancong. RO Simatupang pernah berpesan: Djumlah pelantjong makin lama makin banjak, maka besar harapan kami jang keterangan-keterangan dalam buku ini jang dikumpulkan oleh pembantu-pembantu setempat dapat membantu para pelantjong dalam perdjalanannja.” Niat dan tujuan itu telah melewati puluhan tahun. Buku itu “berumah” di masa lalu. Begitu.

Pelesiran

Aksara Jawa di Sabak

Solo pernah memiliki program aneh di abad XXI. Papan nama pelbagai instansi tak lagi ditulis cuma beraksara Latin. Di bagian bawah, mata orang melihat penulisan nama instansi beraksara Jawa. Apakah itu menandakan ada pemuliaan aksara? Murid-murid berpendidikan mutakhir mungkin melihat itu eksotis dan unik. Mereka hidup dengan aksara Latin untuk berilmu dan mengetahui dunia selalu baru. Aksara Jawa ada di ratusan tahun silam. Aksara di buku tua, museum, dan mimpi kakek-nenek.

Seabad silam, terbit buku berjudul Pratikele Moelang Noelis (Aksara Djawa) garapan R Soeradi Dirdjasoebrata. Buku petunjuk beraksara Latin, menuntun murid bisa menulis dalam aksara Jawa. Buku diterbitkan oleh Kangdjeng Goepermen, Betawi. Buku cetak ulang keempat pada tahun 1931. Tebal 54 halaman. Buku itu hidup dalam ingatan para murid di masa kolonial. Bocah-bocah di tanah jajahan bersekolah, mempelajari pelbagai hal dengan persaingan aksara. Di Jawa, mereka belajar menggunakan aksara Jawa, Arab, dan Latin.

Apa tujuan pelajaran menulis aksara Jawa? Soeradi Dirdjosoebrata menjawab: “Preloene dianakake piwoelang noelis ikoe soepojo toelisane moerid betjik lan rikat. Meh angger wong sing bisa noelis, ija bisa noelis rikat nanging apike doeroeng mesti. Kosok baline, toelisane betjik ikoe panoelise terkadang nggremet banget, ikoe oega prasasat ora makolehi. Dene sing perloe, betjik lan rikat. Bisane mengkono ora lija saka pamardine goeroe.” Dulu, pelajaran membaca dan menulis aksara Jawa diadakan di SD. Kita mengingat mulai kelas 3. Pelajaran itu cepat hilang setelah kita ke SMP, SMA, dan universitas.

Buku lawas itu belum memberi petunjuk penggunaan alat sekolah canggih. Murid masih menggunakan grip dan sabak. Posisi raga mesti enak agar saat menulis di kursi-meja sesuai capaian “betjik lan rikat.” Petunjuk penting: “Sabak ikoe ora kena mloesoet marga reged, soepaja adja agawe rekasaning panoleis, moelane betjik ditjawisi banjoe lan soewekan kagawe ngoelapi.” Di sabak, aksara Jawa dituliskan agar elok. Murid serius menulis. Guru rajin membimbing dan meneliti agar tulisan tak amburadul.

Gerak tangan kanan dan posisi tangan kiri menentukan hasil tulisan. Soeradi Dirdjasoebrata mengingatkan: “Sasoewene moerid noelis, tangane kiwa sok kranggehan, terkadang dipangkoe oetowo disaki, lan sok dilebokake ing sloroganing medja: mengkono ikoe pantes dipenging. Tangan kiwo koedoe katoempangake ing medja, kaja dene minangka panjangganing awak.” Guru mungkin juga melihat tangan kiri biasa digunakan bocah untuk ngupil dan ngoroki kuping. Dua tindakan itu membuat tulisan jadi buruk. Guru harus melarang!

Buku pelajaran menulis aksara Jawa itu bekal bagi murid memuliakan Jawa dan bekal saat mencari pekerjaan jadi juru tulis. Pembaca novel berbahasa jawa bisa mengingat tokoh dalam novel Ndjoendjoeng Kirti Dradjat (1924) garapan Jasawidagda. Semula, tokoh bekerja sebagai juru tulis di Kepatihan, Solo. Pekerjaan halus itu ditinggalkan tanpa ragu. Ia memilih bekerja di pabrik di Semarang. Pulang ke Solo, ia membuka toko-bengkel pit. Tangan tak lagi menekuni penulisan dengan aksara Jawa. Tangan digunakan untuk pedal, ban, roda, rantai, lampu, dan sedel. Mantan juru tulis malah berhasil jadi pengusaha dan tampil sebagai tokoh di Boedi Oetomo cabang Solo. Barangkali ia tak serius mempelajari buku Pratikele Moelang Noelis (Aksara Djawa) saat masih sekolah. Begitu.

Aksara Jawa

Segelas Anggur di Paris

Ratusan pemain dan ribuan penonton berdatangan ke Perancis. Mereka sedang bermimpi kemenangan dalam Piala Eropa 2016. Pertandingan demi pertandingan diadakan di stadion-stadion indah untuk mencari pemenang dan terbaik. Perancis pun menjadi tempat bersejarah bagi Wales dan Eslandia, 2 negara keren dalam meraih kemenangan-kemenangan meski terhenti tak sampai ke final. Kini, Perancis itu sepak bola.

Dulu, Perancis itu buku tipis. Pada 1956, terbit buku berjudul Di Perantjis susunan HJ Lint. Tebal 43 halaman. Buku masuk dalam seri “Demikianlah Penghidupan”, terbitan Ganaco NV, Bandung. Pada masa 1950-an, informasi dan pengetahuan tentang Perancis diperlukan untuk mengerti geliat negara-negara di Eropa, belum berpikir piknik dan belanja tas atau busana mahal. Perancis sudah terkenal di Indonesia, sejak masa penjajahan. Orang-orang Perancis pun sudah singgah dan menjalani hidup di Nusantara -Indonesia. Kita bisa simak melalui buku berjudul Orang Indonesia & Orang Prancis: Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX susunan Bernard Dorleans.

Kita lekas ke Paris. Di halaman 25, penjelasan tentang kota idaman di dunia: “Dimulut orang asing kota Paris terkenal sebagai ‘la Ville Lumiere’, artinja ‘kota tjahaja’. Sesungguhnja pemberian nama itu beralasan djuga. Paris memang termashur karena keindahan boulevard-boulevardnja–djalan lebar jang dihiasi dengan pohon-pohon dikedua belah pihaknja–dan karena gedung-gedung besar dan pelbagai tugu peringatan jang serba mengagumkan.” Pembaca jangan menangis tak menemukan keterangan memikat mengenai lampu, bulan, atau matahari. Pembaca boleh beralih menjadi penonton film berdasarkan buku garapan Rais dan Angga. Film itu disajikan di televisi sebagai hiburan Lebaran.

Perancis itu sastra. Di kalangan pembaca sastra, Perancis sering dianggap tanah air para pengarang tenar. Di Indonesia, teks-teks sastra Prancis telah diterjemahkan, mendapat tanggapan girang. Di buku tipis, sastra tak termasuk keterangan untuk disampaikan ke pembaca. Kita malah diajak mengenali obsesi para penduduk Paris: “Lebih dari kota-kota lain di Perantjis, penduduk kota Paris tidak mementingkan rumah jang bagus. Biarpun kaja dan miskin, jang menduduki tempat pertama dalam kehidupan mereka bukanlah rumah jang besar dan mewah, melainkan makanan jang telah dimasak sesempurna-sempurnanja, ditambah lagi dengan dengan segelas anggur sesudah makan.” Apakah penjelasan itu benar? Hidup di kota demi makanan lezat dan segelar anggur. Di kota-kota Indonesia, hal terpenting itu rumah. Orang tak berumah sering merana dan mengidap seribu malu.

Perancis tak cuma Paris. Di halaman 39, HJ Lint menceritakan Marseille: “Kota itu ramai djuga . Dipusat kedapatan toko-toko jang hampir seindah toko-toko di Paris. Tapi pelabuhannja benar-benar mengangumkan. Sepandjang pangkalan-pangkalannja berleret kapal laut jang serba besar.” Kita mengimajinasikan kota-kota di Perancis molek. Kita ingin pergi ke Perancis sebagai turis, berdandan necis dan berduit ratusan juta. Di negeri jauh, kita menginap di hotel, bercakap di kafe, berfoto di Menara Eiffel, dan berkunjung ke museum.

Perancis itu buku. Siapa bermimpi dolan ke Paris dan kota-kota molek di Perancis untuk melacak imajinasi bermula dari teks-teks sastra? Di sana, orang membeli buku-buku sastra ditambahi buku-buku filsafat. Urusan serius itu bergengsi ketimbang bernafsu melulu pada tas, busana, dan parfum. Begitu.

Perancis