Rahasia dan Keajaiban

Masa 1950-an, masa para penulis mengungkap rahasia-rahasi. Apa itu rahasia kecil atau besar? Rahasia menentukan derajat ilmu atau meresmikan hasrat menikmati hiburan? Jawaban tergambalang ada di buku berjudul Inilah Rahasia Pertundjukkan Bioskop. Buku disusun oleh redaksi beranggota Ali Marsaban, Slamet Nazar, dan XSM Ondang. Buku disadur dari buku berbahasa Belanda, Zo Werkt de Bioscoop. Buku diterbitkan Ganaco, Bandung-Jakarta-Amsterdam, 1957. Di buku 44 halaman, orang-orang membuka rahasia tanpa ragu dan malu.

“Adakah nampak olehmu bahwa pertundjukkan wajang kulit atau wajang purwa itu sesungguhnha banjak bersamaan dengan pertndjukkan bioskop? Permainan bajang-bajang itu boleh dipandang sebagai pertundjukkan bioskop dalam abad-abad jang telah lalu. tapi jang terlihat pada lajar diterangi itu hanjalah bajang-bajang sadja. Warna wajang itu sendiri, matanja, pakaiannja, segala sesuatu itu tidak terlihat oleh penonton,” tulis redaksi di halaman 10-11. Orang-orang di Indonesia dilegakan telah memiliki referensi dari para leluhur, sebelum terpukau pada pemutaran film menggunakan alat-alat modern.

Bioskop tergantung mata. Penjelasan mengenai mata menentukan tahapan-tahapan kemunculan film. Penjelasan sederhana: “Mata manusia itu bekerdja seperti pesawat pemotret ketjil. Gambaran jang terlihat oleh mata kita, masuk kedalam melalui lensa mata: maka akan terbentuklah sebuah gambar ketjil diatas lata peka tjahaja, jang terdapat pada dinding dalam bola mata. Untuk seketika lamanja gambar itu tinggal tetap pada tempatnja, hingga kesan jang ditimbulkan olehnja masuk kedalam otak.” Pemahaman itu menghasilkan perhitungan dalam penentuan gambar dalam film. “Sebab itulah film harus bergeser dengan tjepat, sekurang-kurangnja 15 gambar dalam tiap-tiap detik,” kalimat di halaman 21.

Film itu kebohongan. Orang-orang mengakui kebohongan terindah membikin ketagihan. Orang menonton film ada di kebohongan. Pada masa lalu, bohong masih wagu: “Pernahkan kamu melihat film tentang perkelahian dua orang diatas dasar laut? Tapi benar-benarkah mereka itu berkelahi dibawah permukaan air? Tidak! Biasanja orang-orang itu disuruh bergulat didepan sebuah bak katja jang berisi air, lengkap dengan ikan dan bermatjam-matjam machluk air jang lain.” Duh, kebohongan itu menghasilkan uang jika ribuan orang menonton dan terpukau. Film mengandung seribu bohong terlalu diinginkan orang-orang.

Di Indonesia, buku itu menjadi bacaan ilmu dan menentukan pemahaman mengenali kegandrungan orang-orang menonton film. Kaum agama dan elite politik sering memberi tanda seru agar orang-orang tak ketagihan menonton film jika merusak moral dan menularkan kebodohan ideologi. Buku mengenai bioskop agak memberi pengantar ke pengetahuan, bukan khotbah atau seruan keras. Di akhir buku: “Ja sesungguhnja bioskop-bioskop itu membuka sesuatu alam jang penuh dengan keadjaiban-keadjaiban. Bukankah memuaskan djuga karena kamu telah dapat menjelami beberapa kenjataan diantara segala hal jang adjaib itu?” Buku itu berhikmah. Begitu.

Bioskop

 

Nederland di Meja Makna

Buku hitam, buku bercerita sehari semalam. Tipis tapi mengenang ingin sepanjang masa. Buku itu berjudul Sehari Semalam dengan Keluarga Nederland. Buku pelit identitas. Siapa penulis? Penerbit? Duh, semua tak tercantum di buku. Buku berbahasa Indonesia dengan sajian elok dalam pilihan huruf dan foto. Buku bermutu menghubungkan kita dengan Belanda, setelah kolonialisme berlalu.

“Inilah kisah penghidupan sehari-hari dari suatu keluarga Nederland biasa. Mereka tinggal dikota Amsterdam dan melakukan hal jang sama sebagai penduduk kota lain,” paragraf permulaan di buku. Paragraf itu menunda keinginan pembaca mengetahui keluarga. Nederland diperkenalkan dulu: singkat dan terang. Perihal Nederland: “Dahulu kala Nederland, jang berarti tanah jang rendah, untuk sebagian besar terdiri dari danau-danau dan rawa-rawa. Untuk memperluas buminja, maka bangsa Nederland membuat tanggul-tanggul.” Nederland atau kita mengenali Belanda adalah negeri bertanggungl tapi pernah betah “menguasai” Indonesia.

Pemberitahuan terlambat diketahui bumiputra pada abad XIX dan XX: “Sebagaimana diketahui, Nederland adalah negara ketjil dan tidak dapat menghasilkan tjukup makanan untuk penduduknja jang padat.” Makanan? Apa sejarah kolonialisme pun bermula dari makanan atau perut ingin terhindar dari lapar? Ingatan jauh itu singkirkan dulu saat hubungan Indonesia-Belanda mulai membaik dengan program-program pendidikan, seni, dan industri.

Di tengah, pembaca mulai melihat dan membaca keluarga: “Inilah mereka keliling medja makan pagi. Biasanja mereka makan bubur gandum, roti dengan mentega, sele atau pelbagai matjam kedju, biskuit, kuweh, sambil minum teh dengan gula dan sedikit susu.” Mereka itu bapak, ibu, dan dua anak (cowok dan cewek). Keluarga kecil bahagia dan sejahtera? Mereka sudah berpenampilan neci di pagi hari. Bapak mau bekerja di kantor. Dua anak berangkat ke sekolah.

Bapak ke kantor mengendari sepeda. Sejak dulu, Belanda adalah negeri ribuan sepeda. Orang-orang menggandrungi sepeda untuk beradab: “Sepeda dipergunakan untuk pergi kekantor, untuk mengantar sajuran dan barang-barang, dan tukang susu, tukang roti, dan tukang sajur mempunjai sepeda-sepeda jang chusus dibuat untuk mereka guna dipakai sehari-hari mengundjungi langganan-langganannja.” Kini, sepeda di sana mungkin tetap laris ketimbang di Indonesia. Orang-orang ingin kencang dan malas bergerak dengan memilih sepeda motor. Nah, jutaan sepeda motor itu dimiliki dengan cara mencicil alias kredit.

Keluarga sadar pendidikan. Anak-anak rajin belajar agar pintar. Di sekolah dan rumah, mereka belajar. Simaklah: “Penghafalan, dan biasanja banjak jang harus dihafalkan dirumah, harus dimulai sebelum makan malam dan harus selesai sebelum waktu tidur. Medja makan adalah tempat jang baik sekali untuk penghafalan.” Di meja makan, bocah-bocah Belanda ingin pintar sedunia. Di Indonesia, meja belajar pernah diadakan dengan merek-merek kondang tapi belum tentu digunakan untuk belajar. Begitu.

Nederland 2

Awalan dan Akhiran

Pada masa 1950-an, murid-murid belajar bahasa Indonesia mengalami kesusahan, membuat kesalahan-kesalahan kecil dan fatal. Bahasa Indonesia tak boleh amburadul. Di sekolah, bahasa Indonesia justru harus mengalami pemberesan ketimbang penggunaan di luar sekolah. Kesulitan murid-murid memahami bahasa Indonesia tak terjawab semua oleh guru atau ditemukan jawab di buku-buku pelajaran.

Usman Effendi menginginkan ada kesempurnaan dalam pengajaran bahasa Indonesia. Ia pun menulis buku berjudul Peladjaran Bahasa Indonesia: Kata Djadian diterbitkan Pustaka Timur, Jakarta, 1951. Buku bersampul motof batik. Bahasa Indonesia itu elok seperti batik saat dimengerti oleh murid-murid. Buku tipis dan manjur menjawab ratusan masalah dimiliki murid-murid. Buku cuma membahasa kata jadian, khusus tanpa penjelasan dan contoh mubadzir.

“Bentuk diktat dengan keterangan-keterangan pendek jang dituruti oleh tjontoh-tjontoh biasanja lebih dapat memaksa memusatkan perhatian kepada bentuk-bentuk dari tiap-tiap bagian. Kekurangan dalam keterangan biasanyja dapat diperlengkap dengan tjontoh-tjontoh. Tidak pandjang-lebarnja keterangan-keterangan mengakibatkan tidak susahnja menghafalkan bentuk-bentuk dengan sistim. Demikianlah kejakinan kami,” tulis Usman Effendi.

Kita mulai belajar awalan me-. Penggunaan me- dengan kata dasar berupa kata kerja berarti “Mengatakan orang jang mengerdjakan atau pekerdjaan itu jang dipentingkan, sehingga kalimat itu benar-benar bersifat aktip.” Contoh: “Saja menulis surat”; “Ibu sedang mentjutji kain”; “Kita harus pandai memilih pemimpin jang djudur.”

Penggunaan awalan me- untuk kata dasar berupa kata kerja memiliki sekian pengertian: “Mengatakan memakai sebagai perkakasa”; “Mengatakan membuat djadi atau mendjadi”; “Mengatakan mempertundjukkan atau mengeluarkan jang dikatakan kata dasar”; “Mengatakan berlaku seperti”; “Mengatakan mentjari atau menemukan.” Perkara awalan itu mudah. Membaca keterangan dan contoh-contoh membuat murid cepat mengerti asal guru turut mendampingi.

Di halaman 27, pembahasan mengenai akhiran -an. Contoh dicantumkan: “Kuburan sebaiknja letaknja djauh dari kota.” Akhiran -an di kalimat itu mengatikan “tempat”. Contoh lain: “Pikiran orang itu tidak teratur.” Akhiran -an di kalimat itu berarti “tjara melakukan.” Sejak masa 1950-an, penjelasan dan contoh buatan Usman Effendi untuk awalan dan akhiran masih sederhana dan gampang. Sekian pengertian itu berubah saat pemerintah membuat tim dalam membenahi pengajaran bahasa Indonesia. Para ahli bahasa pun turut memajukan bahasa Indonesia dengan memberi ralat atau melakukan perbaikan dari buku-buku lama.

Buku susunan Usman Effendi membimbing murid-murid menempuhi jalan lurus bahasa Indonesia. Buku cuma 40 halaman termasuk tipis dan ringan. Murid-murid membaca tanpa takut atau pening. Di atas meja atau di pegangan tangan, buku itu menghidupi bahasa Indonesia. Begitu.

Kata Djadian-1

Sumbangsih dan Huruf Latin

Buku bertahan dari serangan binatang. Buku ingin melewati waktu sampai setengah abad. Kehancuran atau kematian ditunda, berharap ada orang lekas membaca. Peristiwa itu keselamatan ketimbang membiarkan buku jadi santapan binatang. Di bagian depan, kertas-kertas sudah meninggalkan sisa kerjaan binatang. Di bagian belakang, santapan cuma sedikit.

Buku itu dijuduli tanpa penasaran: Kesusasteraan Indonesia. Buku disusun oleh Nursinah Supardo, terbitan Fasco, Jakarta, 1954. Tebal 56 halaman. Siapa masih ingat nama itu saat menjadi murid atau guru pada masa lalu? Kitab pelajaran dalam pengajaran sastra pernah memberi arti bagi persekolahan di Indonesia. Buku sudah cetak ulang kedua, tanda ada keinginan murid-murid belajar sastra. Mereka belajar bernilai.

Penulis berharap buku itu “sumbangsih”. Cetak ulang mengalami perbaikan atau ralat. Penulis sudah mendapat sekian saran dan kritik. Pemberi saran dan kritik itu Bachrum Rangkuti. Ia “telah sudi membatja dan memperbaiki kechilafan-kechilafan jang terselip disana sini.” Guru-guru telah memilih buku itu untuk diajarkan. Sumbangsih pun terbukti.

Kitab dipelajari dalam baba-bab pendek: ringkas dan jelas. Di halaman 10, pengertian roman: “Roman ialah bentuk prosa dalam kesusateraan Indonesia baru. Isi roman ialah mentjeriterakan penghidupan seseorang. Dalam tjeritera ini biasanja perasaan sipengarang dikemukakannja (subjektif). Pengarang melukiskan sifat-sifat orang-orang dalam tjeriteranja menurut perasaan serta pemandangannja sendiri.” Di Indonesia, roman biasa bergantian dengan sebutan novel. Sekian ahli sastra dan guru kadang membedakan dengan argumentasi-argumentasi samar.

Nah, penjelasan agak penting mengenai “sjair”. Di Indonesia, orang menggubah puisi dijuluki penyair. Apa itu “sjair”?  Nursinah Supardo menulis: “Kata sjair dari bahasa Arab jang berarti orang penjair (sju’ur=perasaan). Dalam bahasa Melaju, sjair diartikan sju’ur itulah dalam bentuk karangan ikatan. Para murid sampai hari ini masih bingung dan menanti pemastian sebutan penyair bagi orang menulis puisi. Usulan memberi sebutan pemuisi mungkin aneh. Penyair mengingatkan “sjair”. Di buku-buku pelajaran sastra, “sjair” itu masa lalu.

Kapan orang-orang di tanah jajahan mulai kesengsem huruf Latin dalam menulis sastra? Jawaban agak membimbing: “Berkat Abdullah berangsur-angsur lenjap pula kata-kata Arab itu. Pemakaian huruf Latin kemudian memudahkan pula bagi pengarang-pengarang. Mereka merasa lebih bebas, lebih tjepat dan mudah membuat karangan-karangan.” Huruf-huruf Latin pun menentukan sastra “baru” atau “modern” di Indonesia. Huruf itu idaman banget.

Huruf Latin masih terpilih sampai sekarang. Sangkalan tak pernah ada untuk mengembalikan penulisan sastra ke huruf-huruf “tradisional” atau huruf Arab. Pada masa 1940-an, huruf Latin semakin membesarkan angan membentuk sastra modern. Chairil Anwar tampil dengan puisi-puisi hasil tulisan tangan dan ketikan. Puisi itu berhuruf Latin. Begitu.

Kitab Peladjaran Sastra

Asia-Afrika Berseru!

Indonesia mendapat warisan besar dari Muhammad Yamin berupa buku-buku sudah sulit dicari di toko buku atau perpustakaan. Warisan itu bacaan “sejarah” mudah diperdebatkan benar atau meragukan. Buku berjudul Kebudajaan Asia-Afrika susunan Muhammad Yamin mungkin termasuk “benar”. Buku diterbitkan dalam dua bahasa: Indonesia dan Inggris. Buku terbitan Perpustakaan Perguruan Kementerian PPK, 1955, berisi “naskah dan pendjelasan keputusan jang disetudjui Konperensi Asia-Afrika dikota Bandung, seperti disiarkan pada sudang-penutup pada hari Minggu tanggal 24 April 1955.” Pada acara akbar dan bersejarah itu Muhammad Yamin berperan sebagai Ketua Panitia Kebudajaan Konperensi Asia-Afrika.

Pengharapan di permulaan buku: “Moga-moga hasil permusjawaratan Asia-Afrika bagian keruhanian itu akan banjak hasilnja untuk memberi isi kepada kebangunan budaja dalam suasana kebebasan dan kemerdekaan dibenua jang telah lepas dari belenggu pendjadjahan dan imperialisme.” Sejak masa 1920-an, Yamin memang manusia maju dan jarang ragu. Ia keranjingan menulis Indonesia dalam puisi dan prosa. Pada 1955, Yamin mulai mengusir ragu dalam pemajuan negara-negara di Asia dan Afrika.

Rencana minta mufakat: “Konperensi Asia-Afrika memperhatikan kenjataan bahwa adanja kolonialisme dibanjak bagian dari pada Asia dan Afrika, dalam bentuk apapun djuga, tidak hanja menghalang-halangi kerdjasama kebudajaan, tetapi djuga menindas kebudajaan nasional dari rakjat.” Selama ratusan tahun, sekian “kebudajaan nasional” diinjak dan diludahi “kebudajaan kolonial” datang dari Eropa. Di Bandung, para elite itu memikirkan perubahan dan pembangkitan segala hal.

Pada masa lalu, mereka pernah membuat usulan indah berjudul “tukar-menukar ilmu-pengetahuan.” Perincian: penukaran studen antara negara; penukaran para profesor antara negara; penukaran buku antara negara; menjempurnakan buku-buku tentang negara-negara jang lain, spesial buku-buku sekolah dan buku-buku sedjarah, sehingga tak ada terdapat dalamnja hal-hal jang menjinggung perasaan dari pada negara-negara lain.” Pernjanjian dilakukan para pemimpin, bukan orang sedang kasmaran. Perjanjian itu berat dan sulit terlaksana tapi pernah dituliskan di kertas bertanda tangan.

Perjanjian indah mengingatkan masa lalu indah di Asia dan Afrika, sebelum dimangsa penjajah. Di halaman 89, keterangan tak ingin dilupakan: “Asia dan Afrika adalah tempat kelahiran kepertjajaan-kepertjajaan dan peradaban-peradaban jang besar, jang telah memperkaja kebudajaan-kebudajaan dan peradaban jang lain, dan dalam perkembangan itu telah teperkaja sendiri.” Keagungan dari masa ratusan tahun silam. Ingatan-ingatan itu ada di candi, kitab, lagu, patung, prasasti, keraton, dan pelbagai hal.

Konferensi menantang negara-negara besar itu menghasilkan piagam dengan akhiran mentereng: “Para bangsa sedunia! Kebangkitan semangat merdeka dan renaissance kebudajaan Asia-Afrika pastilah akan datang!” puluhan tahun berlalu, slogan itu terbukti dan berbalik ke kerapuhan. Pembaca beruntung mendapatkan buku susunan Yamin agar sedikit ingat. Begitu.

Kebudajaan AA

Air dan Kapas

Pada 1957, Kedutaan Besar URSS di Jakarta menerbitkan buku berjudul Uzbekistan Sovjet. Tebal 76 halaman. Di halaman 3, kekhasan buku dikuatkan tampilan gambar palu-arit, “Lambang Negara Republik Sovjet Sosialis Ezbekistan.” Buku itu bikin kejutan di halaman persembahan ke pembaca di Indonesia: “Aku tidak heran, apabila buku ketjil ini sampai ditangan seorang muslimin, seorang jang sungguh-sungguh beriman jang mengundjungi Al Azhar. Disluruh Sovjet Uni suku bangsa Uzbeklah jang paling banjak terdiri dari orang-orang muslimin.” Pembaca boleh membuktikan di sampul buku: foto lelaki berpeci dengan kumis dan jenggot berwarna putih.

Buku itu mengandung propaganda saat Indonesia-Uni Soviet bermesraan dalam ketegangan politik dunia. Pengetahuan mengenai Uzbekistan memang perlu bagi orang-orang Indonesia, tak cuma perkara politik tapi ilmu, agama, seni, dan pertanian. Di Uzbekistan, ada daerah bernama Buchara. Orang-orang membaca kitab-kitab agama mungkin mengingat ada nama Imam Buchari. Ingatan itu minta selisik bukti biografis dan catatan dalam sejarah dakwah agama Islam di dunia.

Sejarah tercantum di buku: “Orang-orang Uzbek jang progresip pada achir abad ke-19, seperti Furkat, Mukimi, dsb, mengandjurkan rakjatnja untuk mentjontoh teladan orang-orang Rusia dan kebudajaan mereka jang progresip. Dalam memudja pengaruh baik daripada kebudajaan Rusia, penjair Furkat dalam karangannja jang ditudjukan kepada angkatan muda negerinja mengatakan bahwa berkat Rusia mereka memiliki buah-buah hatsil pengetahuan modern.” Pembaca di Indonesia terima saja informasi itu meski terasa pujian berlebihan.

Di halaman 14, foto bangunan observatorium di Samarkand. Pembaca lekas ingat pujangga tenar dan novel gubahan Ali. Kota itu terkenal dalam jejak-jejak ilmu dan sasta. Orang-orang di Indonesia sempat mengetahui sebelum penerbitan buku “propaganda”. Negeri itu ingatan sastra? bacalah pepatah Uzbekistan di halaman 18: “Air adalah tjermin penguasanja.” Pepatah itu menjelaskan peranan air penting banget. Uzbeksitan itu “bangsa jang sedjak beberapa abad lamanja berminat mendjadikan negerinja sebuah tamansari jang subur.”

Negeri itu moncer dengan kapas. Kita mengingat putih, lembut, dan indah. Perkebunan kapas sangat luas. Orang-orang berkunjung ke Uzbekistan sering kaget mengetahui petani sanggup mendapat 3 ton kapas setiap hektar. Orang terbiasa mengimajinasikan kapas ringan. Berat 3 ton kapas? Orang mungkin memikirkan cara menimbang dan kapas ada di karung. Bobot itu fantastis!

Cerita pertanian disusul cerita industri. Sejak dulu, industri sudah maju ditopang revolusi dan hasrat menguasai dunia. Industri pun bagian dari perseteruan ideologi negara-negara besar masa 1950-an. Kita belum mengetahui nama dan jumlah orang Indonesia pernah berkunjung ke Uzbekistan, sejak puluhan tahun silam. Mereka berkunjung untuk mengerti, bukan pelesiran tanpa pemikiran. Begitu.

 

Panjang

“Menurut pengalaman saja, kesehatan dan kekuatan badan terutama terletak pada kebiasaan sehari-hari. djika seorang sepandjang hari bermalas-malasan, maka beberapa djam gerak badan pada achir pekan belum tjukup untuk memperbaiki apa jang telah dilalaikannja itu, kata Rass Back dan FC Brent. Kita bisa membaca kalimat itu di buku berjudul Rahasia Umur Pandjang, terbitan NV Maandblad Succes, Den Haag-Antwerpen-Pretoria. Pernerjemah ke bahasa Indonesia oleh Jus.

Orang sehat boleh panjang umur. Orang panjang umur boleh bahagia. Panjang umur cuma bersedih? Jadilah tokoh dalam novel-novel garapan para pengarang Amerika Latin! Umur panjang, petilan dari laku berkeplok tangan. Umur dipengaruhi kebiasaan raga, tak perlu disebut olahraga. Kini, olah raga itu medali dan hadiah berupa duit. Di Indonesia, olahraga dimengerti pemerintah dengan memberikan bonus dalam Asian Games atau Olimpiade.

Raga bergerak diperintah jam. Bacalah petunjuk di buku: “Peraturan saja jang pertama-tama kelihatannja berat, tetapi setelah Tuan lakukan dalam waktu sepekan ta’ akan terasa berat lagi. Peraturan itu berbunji: Bangunlah setelah weker Tuan berbunji. Tiap-tiap pagi Tuan harus mempunjai tjukup waktu untuk berpakaian dan bertjukur dengan ta’ perlu tergesa-gesa. Bermalas-malasan 10 menit lagi dalam tempat tidur Tuan ta’ akan memberikan keuntungan kepada Tuan. Itulah suatu kebiasaan dengan orang jang malas dan suatu permulaan dari jang salah.”

Hidup tergantung weker. Malas membuat umum sulit panjang. Malas pangkal mati. Ah, mati dalam sia-sia. Bangun pagi dan bergerak membuat raga waras, melewati hari-hari dengan bungah. Perkara masih sulit dipenuhi adalah bangun tanpa weker. Orang-orang di Eropa dan Amerika berweker. Eh, orang-orang Indonesia pemuja malas meniru dengan menaruh weker di dekat ranjang. Wekerlah hidupmu!

Orang hidup itu bernapas. Di buku mungil, bernapas mendapat penjelasan sekian halaman. Pembaca harus memberi perhatian serius. Renungkan! “Djika Tuan menarik napas pandjang, maka hal ini tidak sadja memberikan efek jang baik terhadap djasmani Tuan, tetapi demikian pula pada rochani,” tulis di buku. Pembaca sudah mengerti dahulu sebelum membaca buku. Keterangan agak penting: “Sebagian besar dai manusia hanja menghirup separoh dari hawa jang disediakan bagi mereka. Sehari-hari, mereka sama sekali tidak menarik napas pandjang. Bernapas pandjang berarti seluruh hawa jang telah dipergunakan dapat dikeluarkan dari paru-paru dan diganti dengan hawa bersih jang tjukup banjaknja.”

Orang-orang di kota padat dan ramai masih bisa bernapas panjang? Kita menduga kebiasaan bernapas pandjang milik orang-orang di desa. Mereka hidup masih bersama pohon, sawah, sungai, dan tanah subur. Bernapas panjang pun kelaziman, tak menunggu dapat perintah dari dokter atau sosialisasi pemerintah. Di desa, orang bernapas panjang bakal berumur panjang. Orang bernapas panjang sering tenang, bijak, bahagia, pasrah, kalem, dan bermutu. Begitu.

Umur Panjang

Waras

Buku pernah terbit berbahasa Jawa. Pada masa berbeda, buku diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Buku mendapatkan pembaca baru. Buku semakin berarti saat digunakan di sekolah-sekolah. Buku itu berjudul Pemimpin Mengadjar Ilmoe Kesehatan susunan Soewita alias Mangoenwisastra dan Mas Kadarslamet. Penerjemahan ke bahasa Indonesia dikerjakan oleh A Soetan Pamoentjak. Buku diterbitkan Noordhoff-Kolf NV, Batavia, 1941. Tebal 68 halaman. Di buku, gambar-gambar dipersembahkan Tirwa alias Sastrawirjana.

“Adapoen maksoed ilmoe kesehatan itoe ialah menoendjoekkan akal, soepaja orang sehat selaloe dan memberi nasihat, betapa baiknja, kalau orang sakit berobat kepada doktor atau pergi keklinik (keroemah sakit ketjil), dan jang sehat-sehat hendaklah mendjaga badannja soepaja djangan sakit,” keterangan di halaman 6. Di tanah jajahan, ilmu kesehatan diajarkan di sekolah-sekolah. Para murid diharapkan mengerti kesehatan dan berjanji untuk hidup selalu waras. Sakit itu tak enak. Waras itu keutamaan. Murid waras bisa belajar, bermain, makan, tidur lelap, dan melakukan kerja-kerja rumahan.

Seruan waras diberikan pemerintah kolonial melalui Gezondsheidsdienst atau Pendjabatan Kesehatan. Pegawai-pegawai memberi keterangan ke para guru agar mengajarkan ke murid-murid. Waras masuk dalam daftar urusan kolonialisme. Di sekolah-sekolah, gagasan dan tindakan menjadi manusia waras adalah pelajaran. Buku berbahasa Jawa dan Indonesia itu modal bagi guru dalam mengajar. Guru harus waras dulu, sebelum mengajak murid-murid waras.

Waras dan sakit dipengaruhi udara. Penjelasan singkat: “Oedara ditempat jang banjak paberik dan banjak poela orangnja, dapat dipastikan penoeh zat-zat jang mengotorkan oedara. Oedara jang sematham itoe dapat mengganggoe kesehatan bada.” Di kota-kota, udara pun sering buruk. Orang-orang gampang sakit. Di desa, udara masih bersih asal masih ada sawah, kebun, hutan, sungai, dan danau. Desa-desa sesak sepeda motor dan mobil, pabrik, kadang pitik, dan selokan mampet pastilah berudara kotor. Waras itu urusan udara. Para penganggum Mahatma Gandhi bisa mempelajari udara melalui buku tipis tak terkenal. Dulu, Gandhi pernah membuat buku kewarasan meski jarang dikenang para pengangum seantero dunia.

Orang ingin waras dianjurkan sregep mandi. Hidup di Indonesia dengan keputusan mandi seminggu sekali tentu ketololan dan fatal. Mandilah, waraslah! “Jang sebaik-baiknja mandi ialah dengan saboen, sebab saboen itoe dapat menghilangkan kotoran jang menoetoep liang rima, tempa peloeh keloear. Sesoedah mandi, dikeringkanlah badan dengan toeala (handoek) dan dikenakan pakaian jang bersih”, petunjuk di halaman 54. Mandia pakai sabun. Nah, pada masa penjajahan, majalah atau surat kabar sering memasang iklan-iklan sabun mandi. Para bintang film paling sering tampil mengiklankan sabun. Mereka berasal dari negeri asing atau Indonesia. Rukiah, bintang film Indonesia, pernah ada di iklan sabun. Kita melihat iklan mungkin ingin waras atau memuaskan mata melihat perempuan cantik. Begitu.

Waras

Waktu Senggang di Saku

Buku berukuran kecil. Buku ditaruh di saku. Nah, buku itu bacaan bagi orang memiliki waktu senggang. Duduk atau tiduran sambil membaca buku ketimbang cuma melamun dan makan tanpa batas. Buku di saku mendingan buku bertema enteng, tak wajib mengenai agama atau politik. Buku kecil itu malah berjudul Mentjari Penghasilan Diwaktu Senggang. Pada waktu senggang, orang membaca tentang waktu senggang. Membaca pula angan penghasilan. Buku disusun oleh Jan Hording, diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh KET. Buku terbitan NV Maandblad Succes, Den Haag-Antwerpen-Pretoria. Wah, buku terbitan dari negeri jauh. Buku kecil datang ke Indonesia dengan 64 halaman.

Ejekan-ejekan bermaksud menjelaskan waktu senggang itu penghasilan: “Guru-guru sekolah, pegawai-pegawai kantor dan lain-lain orang pula jang tidak berkerdja ‘berat’ dapat mengatakan bahwa mereka merasa tjape setelah bekerdja seantero hari. Padahal jang sebenarnja tidaklah demikian. Djika mereka ingin mentjapai sesuatu, haruslah mereka berlaku giat. Hanja orang-orang jang giat sadja akan mentjari apa-apa dalam waktunja jang terluang.” Penjelasan itu menggunakan waktu milik Eropa atau waktu di Indonesia? Apa waktu di pelbagai negeri sama saja?

Pekerjaan-pekerjaan pokok dilaksanakan tapi orang masih memiliki waktu. Bingung mengalami waktu bakal membuat orang memilih tidur atau mencari hiburan sia-sia makna. Anjuran untuk mengerti diri dan waktu luang memungkinkan pikiran duit. Bahasa agak sopan adalah penghasilan. Di waktu senggang, kenikmatan diperlukan berbeda dari kewajiban atau ketentuan dalam pekerjaan pokok. Di Indonesia, pekerjaan masih ruwet diartikan serius atau diremehkan. Orang-orang bekerja demi gaji. Waktu senggang untuk mengurangi gaji agar “terbuang” atau “berkurang”.

Buku saku itu mengajak pembaca memikirkan penghasilan. Berbuatlah di waktu senggang! Duh, perintah mengalahkan kemalasan dan peristiwa memubadzirkan waktu. Jan Hording mengajak pembaca menggunakan waktu senggang untuk menulis artikel dikirim ke koran atau majalah. Menulis artikel itu dapat mendatangkan penghasilan tambahan. Oh, artikel ingin dihasilkan dari waktu senggang? Artikel di koran pun dibaca oleh orang memiliki waktu senggang.

Di Indonesia, menulis artikel itu mirip pekerjaan serius. Orang-orang jarang menganggap menulis artikel gampang dilakukan saat waktu senggang. Orang itu memerlukan 5 jam dalam menulis artikel. Lima jam itu waktu senggang? Kata Jan Hording: “Artikel itu Tuan kirim pada sebuah harian, mingguan ataupun bulanan jang suka menerimanja buah kalam tuan. Tuan bisa peroleh honorarium sebanjak beberapa ringgit, tetapi kadang-kadang djuga lebih banjak daripada itu.” Kalimat terakhir menimbulkan gairah menulis. Artikel menghasilkan duit!

Buku saku itu bacaan ringan, menuntun pembaca berpikiran duit memberati saku. Buku dari masa lalu saat orang Indonesia insaf waktu senggang. Waktu untuk tersimpan di saku saja. Begitu.

Waktu Senggang

Nasihat Belaka

Keluarga mau pergi ke gunung. Pergi berbusana rapi. Dandanan ibu khas Indonesia. Tampilan bapak tampak pengaruh Eropa dan bersimbol nasionalis. Si bocah perempuan sulit mendapatkan pengertian berpenampilan khas Indonesia atau kebablasan modern. Mereka berjalan menuju gunung. Berjalan jauh sambil memandangi matahari.

Penampilan gambar di sampul buku berjudul Seneng lan Tentrem susunan Imam Supardi mengisahkan keluarga Indonesia masa lalu. Buku itu terbit awal tahun 1953. Pada 1960, buku sudah cetak ulang keenam. Laris banget! Buku berbahasa Jawa digemari ribuan pembaca. Buku diterbitkan oleh Badan Penerbit Panjebar Semangat, masuk dalam seri “Watjan Raljat” nomor 15.

“Ing djaman ombyaking wong akeh pada kerem marang kadonjan, lalu marang kasunjatan lan guna paedahi ajem tentreming ati, muga-muga wetune buku iki saja gede manfaate tumrap pembangunaning djiwa tumudju karahajon,” pesan dari Imam Supardi. Pada masa 1950-an dan 1960-an, keinginan mencapai makna hidup senen dan tentrem membutuhkan petunjuk. Buku tipis berbahasa Jawa itu petunjuk tanpa harus mencantumkan undang-undang dan semua peraturan keluaran pemerintah. Petunjuk justru menghadirkan petikan-petikan dari daftar bacaan sakral dan filosofis dari pelbagai negeri.

Di halaman 5, penjelasan ke pembaca menghindari jengkel dan uring-uringan. Imam Supardi menulis: “Rasa-pangrasa ajem tentrem lan rahaju slamet iku kosok baline rasa-pangrasa ora djendjem, ora ajem – ija kosok balen karo rasa-pangrasa djengkel, goreh rongeh, kisruh, tjilaka, kerep uring-uringan, kerep mangkel, lan sapanunggalane.” Penggunaan bahasa Jawa terasa pas menguak aib manusia Indonesia masa 1950-an. Masa itu berisi orang sregep marah, mengajak berkelahi, cemburu, dan dengki. Semua itu bermula dari politik, duit, jabatan, dan gengsi.

Uraian di buku mengena ke perasaan dan pikiran orang Jawa. Buku itu bermaksud mengubah buruk ke baik, pesimis ke optimis, dan malu ke berani. Si penulis mengusahakan menggunakan bahasa berirama untuk menasihati. Irama mengurangi tegang pembaca saat mengoreksi disi dan membuat janji berubah menjadi manusia utama atau mulia. Sumber-sumber bacaan Imam Supardi disajikan jika pembaca ingin melacak sendiri. Buku bermisi “kemadjuan rakjat”, tak bersimpang arah dengan revolusi dan pamrih membentuk kepribadian nasional.

“Wong kang ora tahan menderita marang kahanan kang diadepi salawase bakal ngrasa tjilaka uripe,” tulis Imam Supardi di halaman 34. Sabar dan tabah tampak berarti pasif. Pembaca justru berhak mengartikan itu awalan pembuktian memiliki tekad dan malu berputus asa. Buku berjudul Seneng lan Tentrem berperan menjadi buku-tua. Buku berisi nasihat-nasihat gampang dipahami pembaca. Dulu, isi buku mungkin sering dikutip pembaca dalam percakapan di pasar, kantor, atau cakruk. Mereka tak usah mendaftar ke seminar berongkos ratusan ribu untuk tepuk tangan dan menangis. Begitu.  Seneng Lan Tenterem